"Sekolah memang sudah aktif, tapi tidak berjalan normal. Kadang sekolah kadang libur. Alhasil anak-anak binaan juga malas. Apalagi ke rumah baca," Ujar Arman Panigfat salah satu founder dari Rumah Baca Tinta Manuru Via Whatsapp.
Seharian ini, saya memikirkan tentang nasib rumah Baca yang kami dirikan pada tahun 2018 silam. Rumah baca yang kemudian diresmikan oleh Pemda pada Agustus 2019 ini terletak di Desa Waitamua, Kecamatan Sulabesi Barat Kabupaten Kepulauan Sula.
Jarak dari Sanana, Ibu Kota Kabupaten ke desa Waitamua sekitar 25 KM yang memakan waktu hampir 3 jam dengan medan yang hanya bisa dilalui menggunakan mobil Pickup yang di desain menjadi Angkutan Umum.Â
Sedikit cerita, awal pembangunan rumah baca ini  bermula ketika saya dan 5 kawan lainnya masih stay di Jakarta. Tepatnya di bilangan Jakarta Selatan. Jasa besar juga d berikan kepada Kompasiana secara tidak langsung.
Lewat platrom ini pada tahun 2017, kami berenam mengenal dunia kepenulisan dan aktif menulis. Hingga pada akhirnya, pengalaman menulis dan sensasi tiada tara ini membawa kami pada beberapa diskusi yang bertujuan untuk mengenalkan literasi kepada anak-anak desa terutama anak pesisir
Hal itu bukan tanpa alasan, kami yang berkesempatan mengeyam pendidikan di berbagai kampus di pulau Jawa selalu berhadapan dengan beberapa kendala.
Kendala tersebut antara lain, kaku berkomunikasi, lemah dalam membangun relasi, payah membangun konsep dan adaptasi perkembangan pengetahuan, gaptek, tak pandai menulis (sebelum akhirnya berhasil nulis keroyokan di K) serta lemah dalam penguasaan berbahasa inggris.
Faktor itu mendorong kami agar masalah yang kami hadapi saat ini tidak lagi di alami oleh generasi di bawah kami. Sehingga, targetnya di setiap daerah asal kami berdiri satu rumah baca.
Alhasil pada 2018, beberapa kawan yang sudah menyelesaikan studi kemudian memilih kembali dan mewujudkan satu rumah baca.
Dan, hingga kini, sudah menuju rumah baca kedua di Desa Wainib dan ketiga di Desa Mateketen Kabupaten Halmahera Selatan.
Sejak pendirian, banyak partisipan baik dari Indonesia Mengajar hingga mahasiswa yang bersedia menjadi relawan mengajarkan siswa rumah baca.
Saat ini, relawan yang tersedia sebanyak 5 orang dengan klasifikasi 2 relawan pengajar Bahasa Inggris, 2 relawan pengajar Teknologi Informasi dan komunikasi dan 1 relawan pengajar Kesenian dan Budaya.
Seharian memikirkan rumah baca membuat saya tergerak untuk mengali informasi perkembangan saat ini.
Kebetulan, kawan saya sedang berada di Kota Ternate sehingga dapat dihubungi. Jika saja ia di Desa, maka kegalauan ini bertambah karena desa tersebut tidak di jangkau jaringan telekomunikasi.
"Berapa peserta rumah baca sekarang?" tanyakuÂ
" Sekarang, Allhamdulilah sudah 40 orang," Jawabnya di sebrang sana.
"Buku-buku sudah banyak ?," tanyaku. "buku masih kurang hingga saat ini. Terakhir kemarin, sebelum covid ada sumbangan dari Indonesia Mengajar, selebihnya hanya satu dua buku dari sumbangan pribadi," ujarnya.
Saya pun tercenggang. Padahal kami sudah berupaya berkomunikasi dengan pihak Dinas Pendidikan mengenai bantuan-bantuan buku. Apalagi sudah banyak janji dari mereka untuk memberikan bantuan buku.
"Karena mulai covid beberapa bulan kemarin, sekolah di liburkan. Para orang tua dari desa maupun luar kampung tidak mengijinkan anak-anaknya keluar,". Ujarnya
"Namun, mulai Juli ini, sudah di jalankan dengan hanya mengajarkan anak-anak  membaca dan di batasi jumlah per hari sebanyak 3-4 orang." timpalnya.
Ia berujar, bahwa kondisi ini merupakan tantangan bagi penggerak pendidikan di setiap wilayah di mana pembelajaran menjadi tidak efektif. Kerja keras perlu dilakukan untuk menjauhkan kejenuhan anak-anak terutama pada kondisi yang tidak pasti saat ini.
Sebelum mengakhiri diskusi panjang via WhatsApp kami berdua mencoba memikirkan alternatif terbaik agar tetap menjalankan aktivitas rumah baca yang kami dirikan.Â
Solusi yang kami hasilkan ialah menerapkan protokol kesehatan. Anak-anak dan pengajar harus mengunakan masker serta melakukan edukasi  kepada masyarakat.
Di tengah geliat pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan pada tahun ajaran baru 2020 yang memutuskan sekolah sudah bisa melaksanakan pembelajaran secara atap muka, di sisi lain kesiapan masih jauh dari perhatian. Minimnya kesiapan terutama protap di desa-desa yang jauh dari jangkauan pusat pemerintahan menjadikan masalah ini semakin runyam.
Belum lagi, masalah psikologi para peserta didik yang perlu di perhatikan akibat dari keterbatasan dunia main. Setiap orang tua terutama di desa juga tidak mungkin memantau aktivitas anak-anaknya di sekolah.
Hal ini karena aktivitas mereka sebagai petani dan nelayan yang harus dijalani sejak pagi pagi hingga sore. Terima kasih. Salam literasi pesisir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H