Yap, bahkan ibu saya jika menyuruh ke pasar membeli ikan fufu, beliau bahkan memberikan wangsit dan ciri-ciri ikan yang harus dibeli.Â
"Pilih ikan fufu yang segar jangan yang pucat, tanya dulu baru buat atau sudah lama. Jangan lupa tanya ikan dari mana (asal daerah pembuatan). Setelah itu cubit sedikit dagingnya lalu rasa gatal apa tidak. Kalau tidak beli yang itu." Begitulah wangsit ibuku. Maklum, saya sendiri sering salah beli. Alhasil ikan tak dimakan, telinga penuh omelan.
Para pedagang pengolah biasanya mengasapi atau fufu ikan pada siang hari. Pada pagi hingga menjelang siang, mereka akan menuju Desa Panamboang di PPP Bacan. Salah satu pusat penangkapan ikan cakalang terbesar di Malut.
Mereka menunggu para nelayan membongkar hasil tangkap dan membeli ikan cakalang dari perantara di TPI. Volume yang mereka beli sudah di hitung dengan besaran biaya yang disiapkan. Harga perkilo pada periode ini Rp 14.000/kg.
Selanjutnya, ikan diangkut menggunakan Pick Up ke rumah. Di mana rumah ini juga menjadi lokasi pengasapan. Harga sewa sendiri dihitung per ember dengan harga rata-rata Rp 25.000.
Ikan cakalang yang sudah mendarat cantik di rumah kemudian dibersihkan dan sebagian disimpan. Ikan yang dibersihkan akan naik ke tungku pengasapan dan harus laku sore itu juga.Â
Menurut pengakuan pengolah, Yuni, ikan yang tidak dicuci bersih akan mempengaruhi kualitas karena biasanya ikan akan berulat atau tidak tahan lama.
Setelah dibersihkan, ikan kemudian diletakan di atas para-para. Tetapi sebelum itu, bara api sudah terlebih dahulu disiapkan. Bahan utama pengasapan sendiri berasal dari batok kelapa kering yang dibeli oleh pengolah sebesar Rp 500.000 per truk Pick Up. Sebagian yang merasa tak mempunyai modal, mengangkut sendiri batok kelapa dari kebun terdekat.
Saat diasapi, ikan fufu terus dipantau. Sesekali dipercikan air agar ikan tidak gosong. Ikan yang sudah matang dipisahkan ke samping. Setelah itu diletakan ikan yang baru. Proses ini terus berlanjut sampai sore hari.