Siswa-siswa yang berada di luar kampung pada jam sekolah harus berjalan minimal pukul 06.30 dan yang terjauh pukul 6. Disini pula terdapat siswa-siswa yang berasal dari kepulauan kecil yang datang dan tinggal dirumah-rumah penduduk untuk berseolah. Kondisi ini karena pulau-pulau kecil semisal, pulau Gunange, Tawa, belum memiliki sekolah terutama sekolah menengah atas.
Fasilitas penunjang seperti perpustakaan juga masih rendah. Buku-buku yang tersedia masih sedikit dan sering tidak Update pada perkembangan terbaru. Bahkan, disini siswa harus belajar sendiri karena tidak ada guru spesialis pada mata pelajaran tersebut. Salah satunya pada mata pelajaran Kimia dan Fisika.
Keadaan ini sudah dihadapi sejak lama. Bahkan, menurut pengakuan beberapa Kepsek yang sering diajak ngopi dan diskusi  ususlan penambahan guru terutama pada bidang-bidang spesialis belum digubris oleh Pemda.
Satu fakta yang paling menarik ialah, Jabatan Kepsek ialah jabatan politik. Di mana, mereka yang pernah menduduki jabatan disini tidak di ikuti klasifikasi dan tahapan hingga layak menjadi pemimpin. Guru yang bandel terutama pada momentum politik saat ini akan dipindahkan ke pulau-pulau kecil dan terpelosok.Â
Bandel dalam artian disini ialah pada momentum pilkada, petahana memiliki power untuk kembali berkuasa. Kepala desa,kepsek, camat dan posisi penting lainnya di Desa yang pada periode pertama menjadi tim petahana akan mempertahankan posisinya dengan kembali menjadi tim.Â
Jika salah satu warga yang notabenenya guru baik honorer maupun PNS yang ingin menggunakan hak demokrasi pada pasangan lain setelah pilkada dan petahana menang maka auto di pindahkan ke desa terpencil dan sulit di akses.Â
Kondisi ini bukan saja terjadi di desa saya, akan tetapi sudah menjadi hal lumrah di Maluku Utara (bagian ini akan di bahas pada artikel selanjutnya yang mengulik para narasumber  yang menjadi korban pilihan demokrasi)
Kondisi pendidikan yang jauh dari kata bermutu ini juga saya temukan di daerah lain. Salah satunya Kabupaten Halmahera Barat tepatnya Kecamatan Ibu.
Perjalanan riset tentang kejayaaan petani dan kopra membawa saya ke desa ini. Perjalanan yang di tempuh berkilo-kilo meter dari Ibu Kota Kabupaten, Jailolo. Disini, saya menemukan sebuah sekolah hanya memiliki 3 ruangan. Sistem belajar mengajar sendiri menggunakan sistem shif.Â