Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Pendidikan Pesisir (Part I)

14 Juli 2020   11:48 Diperbarui: 14 Juli 2020   14:17 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa yang menyebrang sungau Wai Sakai. Foto: Nance Samuda

Kondisi Jalan Lingkar Pulau . Dokpri
Kondisi Jalan Lingkar Pulau . Dokpri
Jembatan-jembatan yang tersedia hanya terbuat dari batang kelapa sebagai tiang dan papan dari kayu pohon kenari hasil swadaya masyarakat dan belakangan digunakan dana desa. Itupun hanya ada didalam kampung, sementara antar kampung harus melewati sungai mati atau kali mati.

Siswa-siswa yang berada di luar kampung pada jam sekolah harus berjalan minimal pukul 06.30 dan yang terjauh pukul 6. Disini pula terdapat siswa-siswa yang berasal dari kepulauan kecil yang datang dan tinggal dirumah-rumah penduduk untuk berseolah. Kondisi ini karena pulau-pulau kecil semisal, pulau Gunange, Tawa, belum memiliki sekolah terutama sekolah menengah atas.

salah satu dari sekian banyak jembatan penguhung. Dokpri
salah satu dari sekian banyak jembatan penguhung. Dokpri
Pada kuantitas SDM atau guru, kebanyakan dihuni oleh guru honorer. Mereka merupakan SDM lokal yang memilih mengabdikan diri membangun pendidikan di pesisir. Hanya ada beberapa guru PNS. Secara notabene, masih sangat kurang untuk membangun kualitas pendidikan yang bermutu.

Fasilitas penunjang seperti perpustakaan juga masih rendah. Buku-buku yang tersedia masih sedikit dan sering tidak Update pada perkembangan terbaru. Bahkan, disini siswa harus belajar sendiri karena tidak ada guru spesialis pada mata pelajaran tersebut. Salah satunya pada mata pelajaran Kimia dan Fisika.

Keadaan ini sudah dihadapi sejak lama. Bahkan, menurut pengakuan beberapa Kepsek yang sering diajak ngopi dan diskusi  ususlan penambahan guru terutama pada bidang-bidang spesialis belum digubris oleh Pemda.

Satu fakta yang paling menarik ialah, Jabatan Kepsek ialah jabatan politik. Di mana, mereka yang pernah menduduki jabatan disini tidak di ikuti klasifikasi dan tahapan hingga layak menjadi pemimpin. Guru yang bandel terutama pada momentum politik saat ini akan dipindahkan ke pulau-pulau kecil dan terpelosok. 

Bandel dalam artian disini ialah pada momentum pilkada, petahana memiliki power untuk kembali berkuasa. Kepala desa,kepsek, camat dan posisi penting lainnya di Desa yang pada periode pertama menjadi tim petahana akan mempertahankan posisinya dengan kembali menjadi tim. 

Jika salah satu warga yang notabenenya guru baik honorer maupun PNS yang ingin menggunakan hak demokrasi pada pasangan lain setelah pilkada dan petahana menang maka auto di pindahkan ke desa terpencil dan sulit di akses. 

Kondisi ini bukan saja terjadi di desa saya, akan tetapi sudah menjadi hal lumrah di Maluku Utara (bagian ini akan di bahas pada artikel selanjutnya yang mengulik para narasumber  yang menjadi korban pilihan demokrasi)

Kondisi pendidikan yang jauh dari kata bermutu ini juga saya temukan di daerah lain. Salah satunya Kabupaten Halmahera Barat tepatnya Kecamatan Ibu.

Perjalanan riset tentang kejayaaan petani dan kopra membawa saya ke desa ini. Perjalanan yang di tempuh berkilo-kilo meter dari Ibu Kota Kabupaten, Jailolo. Disini, saya menemukan sebuah sekolah hanya memiliki 3 ruangan. Sistem belajar mengajar sendiri menggunakan sistem shif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun