"geladak-geladak kapal berbunyi kencang, cakalang-cakalang beterbangan. Menghantam lantai-lantai kapal. Penabur umpan sigap melemparkan ikan teri hidup dan pemancing-pemancing di depan anjungan tak kenal lelah menurunkan pancingan".
Saya memerhatikan mereka di balik kemudi kapal. Sang kapten nampak fokus mengarahkan kapal dan menjaga posisi agar kapal selalu berada tepat di kerumunan ikan. Terhitung sudah 3 trip dilakukan hari ini semenjak serangan fajar tepat pukul 06.00 tadi.
Saya tak sadar bahwa sudah semalam bersama mereka. Saking enaknya berbagi cerita dan mata yang dimanjakan oleh hasil tangkapan cakalang, tuna dan tongkol yang sedari tadi mendarat.Â
Beberapa hari sebelumnya, saya tiba di Kabupaten Halmahera Selatan Tepatnya di Pulau Utama Ibu Kota Kabupaten, Bacan. Pulau ini memang familiar beberapa tahun lalu ketika perkembangan batu mulia viral.Â
Salah satu yang diburu ialah Batu Bacan. Batu yang bisa berproses menjadi hijau terang. Permintaan yang tinggi pada batu ini menjadikannya buruan utama. Bahkan, di pulau asalnya, Kasiruta, banyak warga dari dalam dan luar kabupaten datang dan melakukan penambangan tanpa basic penambangan.
Selain itu, Pulau Bacan juga memiliki keunggulan lain yakni, keunggulan bidang perikanan tangkap terbesar di Maluku Utara dengan sumbangsih 24 persen total tangkap yang menjadikannya daerah sentra utama perikanan di Maluku Utara.
Sentra utama perikanan terletak di Kecamatan Bacan Selatan. Sekitar 3 KM dari Pusat Ibu Kota Kabupaten. Kecamatan ini sudah terkenal dari tahun 80-an dengan kehadiran Perusahaan Usaha Mina yang beroperasi hingga periode awal 200-an sebelum akhirnya collapse.
Kekayaan bahari ini didukung oleh potensi wilayah yang berada tepat di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPNRI) dengan WPP 715 yang merupakan wilayah produksi utama Tuna Cakalang dan Tongkol.
Produksinya pun tak main-main yakni 68 persen dari total penangkapan TCT di WPP 715 dengan sumbangsih terbesar Kabupaten Halmahera Selatan sebesar 70 persen. (DKP Malut, 2019). Kedatangan ke Pulau Pulau Bacan, terhitung sudah 2 kali sejak tahun 2012 silam. Dan, kedatangan kali ini dengan agenda penelitian selama 3 bulan.Â
Semenjak disini, saya mulai melakukan survei dari desa ke desa hingga membawa saya ke sentra utama tangkap di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Bacan Desa Panambang. Saya kemudian menemui pihak-pihak terkait utamanya dinas terkait guna meminta izin pengambilan data dan mengikuti proses tangkap para nelayan.
Izin didapatkan, tinggal menemui para kapten kapal dan meminta restu mengikuti aktivitas mereka. Alhasil, saya bertemu dengan salah satu kapten kapal, Pak Lukman, pria berumur 65 tahun ini bahkan menawarkan diri agar saya ikut di kapalnya.
Tentu saja saya senang bukan main. Apalagi, ini perihal memancing yang sudah menjadi hobi saya sejak kecil sejak pertama kali diajak memancing menggunakan perahu bersama kakek.
Kapal yang saya ikuti kali ini ialah kapal dengan tonase 30 Gross Ton (GT). Perlu diketahui bahwa,ukuran kapal disini ialah 6-40 GT dengan jumlah ABK bervariasi. Dari 6 orang hingga rata-rata 25 orang. Sistem penangkapan yang dilakukan ialah Pole and Line. Dimana metode ini sering digunakan di Indonesia dan bisa ditemukan di wilayah-wilayah produksi tangkap.
Sesuai perjanjian saya dengan Pak Lukman, saya kemudian datang lagi keesokan setelahnya dan menemui beliau di Kantor Syahbandar. Kebetulan pada pertemuan sebelumnya, kepala syabandar atau biasa disapa pak haji sudah menjalin keakraban dengan saya.Â
Pak haji kemudian menitipkan saya kepada pak Lukman dan diberikan alat keamanan yakni safety life alias jaket renang. Sejam kemudian saya sudah di geladak. Saya kemudian diarahkan untuk sekamar bersama kapten di belakang kemudi kapal. Kamar ini khusus buat kapten dan bendahara kapal. Sedangkan ABK punya tempat sendiri di belakang.
Sembari menunggu, saya berkenalan dengan para penghuni kapal. Satu demi satu saya mengakrabkan diri sebab merekalah yang nantinya menjadi teman dalam perjalanan kali ini.****
Awal Perjalanan
Tepat pukul 16.00, kapten kapal mulai mengarahkan para ABK melepaskan tali. Mesin-mesin dihidupkan. Sebelum berangkat, hampir sejam mereka melakukan pemuatan bahan logistik.Â
Mulai dari Es balok, minyak solar, minyak tanah dan tentu saja perlengkapan utama beras, telor, mi instan, air bersih, air palka, kopi, rokok, bumbu makanan dan rokok. Yang terakhir ini menarik, Bendahara kapal yang sudah membeli rokok akan membagikan perbungkus kepada ABK. Rokok itu harus awet hingga kembali lagi ke pelabuhan pendaratan.
Sesampainya di lokasi, nelayan tidak langsung mengambil umpan. Mereka menunggu hingga besok subuh sekitar jam 03.00 WIT. Selain itu, proses penangkapan ikan teri di tambak juga dilakukan pada malam hari. Kapal kemudian berlabuh ke samping tambak sembari menunggu hasil tangkapan ikan teri oleh nelayan petambak.
Sembari menunggu memuat teri, para ABK terutama juru masak mulai menyiapkan makanan. Klasifikasi ABK dibagi berdasarkan tugasnya masing-masing.
Klasifikasinya terdiri dari Kapten kapal, bendahara kapal, Juru mudi, Mekanik alias masinis, Koki kapal, boy-boy (pelempar umpan) beserta asisten dan pemancing.
Para ABK yang menunggu makan malam juga tak tinggal diam. Ada yang memancing ikan karang, ngopi sambil ngudut di geladak kapal dan saya sendiri? tentu saja mancing. Lumayan buat lauk makan malam ini.
Tepat pukul 19.00 WIT kami makan. Suasana makan yang sangat luar biasa. Makanan hasil pancing dan lauk seadaanya begitu teras hikmat sembari berbagi cerita dan sesekali mengikuti alunan lagu yang sedari tadi di putar oleh Kapten. Lagu-lagu nostalgia seperti Pance F Pondang, Ebit G ade, sesekali Iwan Fals dll.
Sehabis santap malam saya kemudian bergabung bersama para ABK di geladak kapal. Menikmati malam dan mendengarkan kisah-kisah hidup mereka satu persatu. Sebelum akhirnya saya kembali tidur karena badan terasa begitu capek.
Asik terlelap tidur, saya terbangun akibat suara-suara riuh para ABK. Oalah, ternyata mereka sedang menarik jala tambak untuk memuat ikan teri. Saya kemudian keluar dan memerhatikan aktivitas mereka di tengah hantaman udara yang bisa membuat saya begitu mengigil.Â
Sebuah bilah bambu menjadi sistem sirkulasi palka dengan air laut dengan metode itu air laut bisa keluar masuk ke palka. Sesuatu yang bagi saya sendiri sangat unik.
Ikan teri ini dibeli dengan harga 100 ribu per baskom. Yang jika dikonversi ke kilogram bisa mencapai 5 kg. Terhitung 20 ember dibeli. Volume ini tergantung ukuran kapal dan modal operasional. Kapal dengan volume GT dibawah 10 biasanya hanya 6 ember sementara diata 10-20 ialah 10 ember sampai 17 dan 30 ke atas 20-30 ember.Â
Proses pengangkutan ikan ini cukup lumayan lama. Bisa hingga 2 jam. Setelah selesai, kapal kemudian menuju Fishing ground. Semakin pagi sampai ke spot semakin besar peluang meningkatkan volume penangkapan. Menurut sang kapten, spot-spot ini sudah ditentukan semenjak keluar dari fishing base. Selain itu tujuan mereka ialah rumpon-rumpon di sepanjang perairan obi.
Tepat Pukul 06.00 kami sampai dan memulai serangan fajar. Yap mirip serangan fajar politik aja..Serangan fajar yang dimaksudkan disini ialah memancing sebelum matahari terbit. Para pemancing kemudian mengambil tempat masing-masing di geladak kapal. Alat pancing yang digunakan sendiri terbuat dari batang bambu dengan panjang 5 meter.Â
Dengan diameter senar pancing 1 meter untuk tali dan senar utama nilon setengah ukuran dari tali biasa. Mata kail yang digunakan terbilang unik karena hook yang dipakai polos tanpa penyangga. Hal ini agar ikan yang ketarik langsung terlepas sendiri ke belakang.Â
Sistem tempat duduk nelayan juga berdasarkan kategori pengalaman. Bagi yang senior, mereka berhak dan wajib duduk di tempat utama alias di depan kapal sementara yang baru atau junior mengisi tempat di sampingnya.Â
Ikan teri mulai dilemparkan ke depan. Alhasil, ini mengundang cakalang berkumpul. Pemancing yang sigap kemudian mulai melakukan penangkapan. Suasana senyap sekejap menjadi riuh ketika ikan-ikan beterbangan ke belakang pemancing.Â
Saya yang sedari duduk di dalam ruang kapten berlari keluar. Tak mau ketinggalan momen. Bayangkan saja, saya yang hobi mancing dihadapkan dengan pemandangan ini.
Ikan-ikan beterbangan, nelayan-nelayan riuh memainkan huhate alias pancing mambu dan bonusnya mentari pagi yang aduhai. Tak mampu dijelaskan dengan kata-kata.
Setelah ikan tak lagi makan. Pemancing kemudian membereskan ikan hasil tangkapan ke palka yang kemudian diisi oleh es balok. Sementara mereka sedang bersih-bersih koki kapal juga tak tinggal diam. Ikan hasil tangkap tadi diambil dan dimasak.
Proses penangkapan ini berlangsung hingga 2 sampai 4 kali dalam sehari. Saya yang sejak trip pertama menjadi penonton kemudian diperintahkan untuk kapten ikut memancing. Pikirku, what, saya tidak tau caranya. Tapi kapten kapal meyakinkan saya bahwa memancing seperti itu sangatlah gampang. Alhasil saya pun duduk di geladak kapal kelas junior sekali. Alias kelas TK.
Disebelah saya anak berumur 10 tahun yang lincahnya luar biasa. Baru saya turunkan pancing ia sudah menangkap 3 ekor. Kalah saya dalam hati. Menunggu beberapa menit saya pun berhasil menangkap 1 ekor dan berlanjut hingga 15 ekor pada trip ke empat itu.
Setelah selesai saya pun tepar. Saya baru menyadari hanya duduk dan menangkap begitu melelahkan. Lantas apakah mereka tidak merasa kelelahan? hampir 3 kali trip dan mereka biasa-biasa saja.
Pada trip ke 5 saya bahkan tak sanggup lagi berdiri. Sementara mereka, luar biasa masih semangat seperti awal bertolak dari Fishing base. Aku cukup beruntung hidup dan melakukan perjalanan, pikirku.
Tepat pukul 13.00 WIT aktivitas memancing selesai karena umpan ikan teri juga sudah habis. Perjalanan pulang memakan waktu 2 jam ke fishing base. Dalam perjalanan saya berdiskusi dengan kapten tentang kesejahteraan mereka sebagai nelayan.Â
Selama itu, ia sudah berhadapan dengan berbagai kondisi perikanan. Baik laut hingga kebijakan-kebijakan yang baginya tidak pro sama sekali pada nelayan. Ia menyesali peran-peran pemerintah dalam hal kesejahteraan nelayan dan hanya mengumbar kekayaan perikanan yang tujuannya hanya untuk pengusaha-pengusaha besar.
Lama kami berdiskusi sebelum akhirnya tiba di pelabuhan pendaratan. Setelah berlabuh, saya putuskan untuk tidak langsung kembali. Menunggu pembongkaran hasil tangkap dan berapa yang mereka hasilkan.
Disini peran penting bendahara kapal mengambil ahli. Ia terlebih dulu turun dan menemui si perantara. Yap, mereka yang menggunakan kekuatannya memasarkan hasil tangkap dan pihak yang paling berperan dalam menentukan harga dan modal operasional nelayan.
Proses penjualan jika ke perusahaan bisa dilakukan di pelabuhan atau TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Walaupun dijual TPI akan tetapi tidak ada sistem pelelangan yang berjalan. Ikan-ikan kemudian ditimbang dan dicatat oleh perusahaan, perantara dan bendahara agar tidak terjadi perbedaan harga.
Setelah memenuhi permintaan perusahaan kemudian perantara menjual ke pedagang semisal UKM, pengepul, grosir dan pengecer. Penetapan harga yang diterima nelayan pun tetap dibawa harga. Misalnya jika perusahaan membeli dengan harga 13 ribu ke perantara maka harga yang diterima nelayan ialah 11 ribu.
Hasil tangkapan hari itu sebesar 5 ton. Tapi hasil yang diterima hanya 3 jutaan karena sudah dipotong biaya operasional untuk kembali melaut.
Saya kemudian pamit pulang karena sudah merasa capek. Sebelum kaki saya melangkah turun, sang kapten memanggil dan memberikan hadiah 2 ekor ikan cakalang untuk dibawa pulang. Sungguh luar biasa, saya begitu terharu dan hanya bisa mengucapkan terima kasih.
Perjalanan hari ini memberikan banyak pelajaran bagi saya. Tentang hidup dan filosofi nelayan. Tentang perjuangan para ayah yang mencari rezeki di tengah ketidakpastian kondisi laut dan tentang kejayaan perikanan yang menjadi dambaan penguasa namun tumpul pada kesejahteraan. Terima Kasih. Mari selamatkan nelayan dari kemiskinan. Dari Laut Kita Jaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H