Penampakan ini ialah hal biasa. Tapi bagi saya, ini luar biasa. Kehadiran anak-anak semuruan mereka dalam mencari pundi-pundi rupiah sudah tertanam sejal kecil.
Selain itu, selama beberapa hari ini, langkah kaki saya landed di ruang kemudi kapten. Sambutan hangat para ABK kapal demi kapal begitu saya rasakan.
Padahal, sebelum itu kerisauan, minder, bahkan takut tidak diterima hinggap di jodat dan perasaan. Namun, semua itu buyar oleh senyum-senyum sebagai tanda sambutan hangat mereka.
"Anda mahasiswa, teori yang didapatkan di kampus tidak sepenuhnya benar di sini Nak. Di sini, Anda mengandalkan niat dan keikhlasan pada Tuhan. Seberapa hasil yang kau dapat, itulah yang kau syukuri. Jadi mari saya ajarkan..hahaha," ungkap kapten sembari melempar canda.
Sebuah identitas kekeluargaan yang tercipta dengan hangat diantara nelayan dan mereka yang bertahan hidup di sini.
Bagi saya, identitas ini tidak tercipta hanya semata untuk keuntungan. Tetapi lebih dari itu, sebuah nilai absolut dari hidup yakni berbagi.
Terkadang, saya sendiri tak habis pikir. Ketika kehidupan sosial di atas sana sudah bergeser, di sini mereka masih mempraktekan kehidupan sederhana.
Ibu-ibu yang berjualan bahan dapur di kapal, wanita-wanita muda yang cekatan menjual perlengkapan pancing (bulu ayam), anak-anak yang diberi satu sampai dua ekor ikan untuk dijual kembali sebagai tambahan biaya sekolah, para pemilik rumah makan yang selalu menebar senyum hingga nelayan-nelayan yang menerima harga di bawah harga pasar semuanya tertata pada sebuah nilai. Berbagi dengan keihlasan.
Kesemuanya bersinergi dalam sebuah lingkungan sederhana. Sesederhana menghirup amisnya bau ikan di pelabuhan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H