"jika kail-kail tak lagi menghasilkan, maka hentikan saja keagungan bahari yang dieluh-eluhkan elit di atas sana"
Sepenggal kalimat diatas terlontar dari mulut pria tua yang sedari tadi menjadi teman bincang ku kali ini. Matanya tajam memperhatikan lalu-lalang penghuni pasar.Â
Pedagang yang asik menawarkan ikan-ikan segar yang baru saja di ambil dari perantara di desa panamboang dan konsumen yang larut dalam tawar-menawar. Â Sesekali, ia menoleh ke arah laut. Memperhatikan, kemudian mengela napas dalam-dalam.
"Sekarang, ikan sudah mulai susah. Terutama di kawasan Pulau Obi". Ungkapnya resa.
Kenapa om? Tanyaku penasaran.
"Ya, semejak hadirnya tambang disana, aktivitas tambang yang menghasilkan limbah-limbah mulai mencemari laut. Apalagi kapal-kapal pengangkut yang minyaknya mencemari lingkungan". Jelasnya.
Saya sebenarnya cukup tercengan, namun hadirnya tambang di wilayah Maluku Utara menjadi catatan tersendiri bagi arah pembangunan daerah. Tambang di elu-eluhkan sedangkan keunggulan komparatif justru di lupakan.
Padahal, luas lautan wilayah Maluku Utara (Malut) 73 persen di banding darat. Wilayah ini juga masuk dalam wilayah WPP 715&716 yang terkenal karena migrasi pelagis baik besar maupun kecil. Sebut saja tuna, tongkol dan cakalang.
Dan, wilayah Halmahera Selatan (Halsel) merupakan alur migrasi pelagis utama setelah Pulau Morotai. Hampir semua hasil tangkapan di Malut ditangkap di Halsel kemudian didistribusikan ke Manado, Bitung, Surabaya dan Jakarta.
Kekayaan laut ini sudah sering di agungkan Pemda. Lewat program-program sesaat. Nyatanya, tidak semua program-program tersebut menyentuh langsung pemerintah.
Ucapan pak tua tadi juga mengingatkan kembali 7 tahun silam. Saya sempat menyaksikan hasil tangkapan nelayan fi laut Obi. Dalam sekali trip bisa menghasilkan puluhan ton Cakalang dan tuna.Â