Kawan-kawan saya yang notabenenya kandidat magister justru asyik mengutak-atik game di sela-sela diskusi, bahkan menjadi kewajiban mabar hingga fajar menjelang.
Dan ketika saya memutuskan kembali ke kampung halaman untuk kepentingan ilmiah, kondisi serupa juga justru semakin menggila.Â
Teman-teman saya, adik-adik bahkan sebagian kawan-kawan aktifis yang dulu merawat pikir lewat membaca, justru meninggalakan konsep-konsep menjadi usang.Â
Tak jarang, perihal solidaritas dan membangun komitmen, mereka menyelanggarakan event-event bergengsi yang pesertanya diikuti hampir sebagaian anak muda di daerah saya, Ternate, Maluku Utara.
Pengalaman event tersebut juga membekas bagi diri. Saat itu, ketika baru hari pertama kembali, saya diajak ke lokasi event. Dan betapa kagetnya ketika melihat hampir ribuan generasi muda berpartisipasi, bahkan menjadi suporter dengan embel-embel layaknya suporter sepak bola. Riuh, gaduh dan ramai.
Anak-anak sekolah, SD hingga SMA nampak memenuhi lapangan. Tak jarang mahasiswa turut hadir dengan antusias. Puyeng? Tentu saja. Sebuah kondisi yang tercipta tanpa sadar telah mengakar pada pola pikir dan tingkah laku.
Saya tidak mengkritisi, atau mengambil sebuah kesimpulan sepihak. Tetapi akan menjadi fatal jika yang yang demikian menjadi makanan sehari-hari.
Pada pola pikir, bangunan diskusi-diskusi yang terpantri hanya seputaran game. Anda pasti akan menemukan kondisi di mana bobotan obrolan hanya seputaran game, mulai dari upgrade level, permainan semalam, hingga pada pertengkaran akibat mabar. Dan jangan berharap Anda ngopi sambil meneropong kondisi yang terjadi pada bangsa kini.Â
Hal demikian beriringan dengan pemanfataan waktu. Jika kita percaya bahwa siapa yang dapat memenafaatkan waktu ia akan menjadi tangguh. Ini tidak berlaku bagi mereka.Â
Tak jarang, mereka mengahabiskan semalam full untuk bermain game. Membentuk kelompok-kelompok bermodal WiFi di sudut-sudut kamar. Ya, maklum di sela-sela ngorokku, ada mereka yang terpaku di samping.
Buku Yang Usang