"Jika buku-buku telah usang, maka jendela dunia akan rapuh".
Tulisan ini hadir ketika saya sedang bertukar pikir dengan salah satu Kompasianer yang sedang giat-giatnya menularkan ide lewat cerpen-cerpen ciamiknya. Pertanyaan-pertanyaan seputar dunia tulis menulis di platfrom Kompasiana menjadi titik acuan diskusi kami berdua. Sudah 4 gelas kopi kami seruput sembari sesekali bercanda.
Saya mulai terganggu ketika warkop yang kami datangi dihiasi bunyi-bunyi yang tidak asing lagi ditelinga. Tidak terhitung pula sudah berapa kali teriakan bersamaan dengan jari jempol yang lincah di atas gadget. Jika bisa dihitung, teriakan-teriakan mereka bisa menumbangkan pemerintah, wkwkkw bercanda.
Dari 6 meja yang ada di warkop ini, hanya kami berdua yang asik membangun pikir, sedangkan 5 meja lainnya pada mabar alias main bersama. Yap mereka sedang asik bermain game semisal PUBG dan Mobile Legend.
Padahal pikir saya, yang baru dua kali nongkrong di sini dapat menemukan kehangatan ide-ide liar dari habitat yang ilmiah. Dan, jika dilihat-lihat mereka adalah mahasiswa-mahasiswa di kampus lokal sini. Terlihat dari nyala laptop dan sesekali "galau" karena tugas-tugas.
Tapi apalah daya, sepertinya lingkungan ini akan terus menghantui. Lingkungan yang bagi saya terekam jelas lewat mata sehari-hari.Â
Dalam tiga tahun belakangan, perkembangan game moba tumbuh dengan pesat. Di Indonesia sendiri, game seperti PUBG, Mobile Legend, AoV dan sejenisnya menjadi kegemaran bagi masyarakat, baik anak-anak hingga orang dewasa.
Harapan-harapan tentang membangun literasi, menikmati buku hingga bermimpi punya rumah baca di lingkungan kami tinggal cerita pada semangat-semangat usang. Tak ada peduli apalagi menekuni. Padahal kami masih mahasiswa yang katanya buku adalah selimut pikir.
Belakangan, kondisi ini lebih parah. Saya yang berkesempatan melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Bogor, yang juga tidak jauh-jauh dari habitat ini. Game dan kuliah adalah hal klimaks yang tidak ditemukan teorinya.Â