Kami pun merasa sangat beruntung, karena ternyata ada beberapa warga yang berhasil menemukan 3 buah jeruk di pohon milik mereka yang hampir mati tersebut. Dengan cekatan, pak Rusman memerintahlan salah satu peserta KKN dari Riau untuk segera mengamankan jeruk tersebut.
Selang 5 menit kemudian, 3 buah jeruk tersebut mendarat manis dihadapan kami. Tanpa pikit panjang kami cekatan mengupas jeruk tersebut dan melahapnya sembari membandingkan jeruk tersebut dengan jeruk lain. Alhasil, jeruk manis tersebut memang sangat berbeda secara tekstur hingga rasa.
Rasanya yang manis dan legit inilah yang mungkin menjadi alasan Presiden Soeharto pernah mencicipinya. Bahkan, katanya, presiden Soeharto sering memesan khusus jeruk ini jauh-jauh ke Indonesia Timur.
Tanpa pikir panjang, saya membujuk Pak Rusman dan Ulfa menengok pohon yang masih tersisa. Selama 15 menit kami berjalan hingga akhirnya kami menemukan dua pohon jeruk Sabalaka. Ternyata, apa yang diceritakan oleh keduanya memang benar-benar terbukti.
Sembari mendokumentasikan, obrolan demi obrolan saya lakukan dengan Ulfa. Menurut pengetahuan yang didapatkan dari masyarakat, dulu jeruk ini dapat ditemui  di setiap pekarangan rumah.Â
Namun, akibat pembangunan yang gila-gilaan, jeruk ini kemudian perlahan mati. Menurutnya, kondisi ini disebablan karena adanya radiasi yang dihasilan oleh atap-atap perumahan.
Selain itu, kami juga melihat batang-batang pohon mengeluarkan getah yang bewarna cokelat.Â
Sejam lebih kami mengobrol, namun rasa kehilangan warga desa Topo akan komoditi bawang Topo dan jeruk Sabalaka membekas di pikiran kami. Padahal, baru saja kami begitu antusias ketika mengetahui bahwa ada komoditi andalan, tetapi sejurus kemudian kami harus menerima kenyataan pahit bahwa komoditi tersebut akan "punah".
Kami hanya mendengarkan cerita dan sedikit fakta, selebihnya angan-angan hampa menghantui. Harapan demi harapan menemani perjalanan pulang kami.Â