Untuk memastikan bahwa uang itu benar-benar miliknya, pak Salim kemudian menyuruh pemilik uang untuk menutup mata. Dan, akan memberikan aba-aba agar membuka mata. Setelah aba-aba oleh pak salim, uang tersebut sudah di depan mata. Sang pemilik uang sangat bersyukur dan mengucapkan banyak terima kasih. Kata pak salim, entah apa yg terjadi jika uang itu hilang.Â
Banyak cerita yang sama ia bagikan. Sebelum, ia berpesan. Bahwa semua cerita kehilangan tadi, jika bukan saya ( pak salim) maka mungkin tidak akan ditemukan lagi. Coba bayangkan jika itu orang lain. Mungkin raib dan hilang.Â
"Apapun itu, saya selalu memandang hidup sangat indah ketika jujur, mengerjakan apapun seiklasnya dan jangan pernah mengambil milik orang lain". Pesannya.
Saya pun kaget dengan pesan beliau. Pesan yang sama dan pernah tertanam di benak saya ketika masih berumur 10 tahun silam. " Ninga niingo ma ninga niingo, manca diingo ma manca diingo", ( milik kamu milik kamu, milik orang milik orang).
Pesan ini membekas seketika. Pesan yang disampaikan nenekku ketika kami sedang menanam ubi dilahan perkebunan kami. Baginya, jika kita mengambil milik orang lain maka hidupmu tidak akan bahagia. Bahkan hidup tak segan mati tak bisa.
Baginya, dengan hidup seperti itu kita bisa menikmati apapun hasil kerja keras dengan sederhana. Bahkan ketika anda marah, anda dalam posisi tersenyum.
Sebuah pribahasa yang sampai kini tak mampu ku pahami. Apalagi, jika disandikan dengan hiruk-pikuk kehidupan saat ini yang serba kompleks. Demi mewujudkan kepuasaan batin, orang relah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Pedangang pandai memainkan konsumennya, pencuri berani membunuh korbannya, anak kecil diperkosa bapaknya sampai istri-istri pandai diperdagangkan.
 Saya jadi mengingat sebuah pertemuan singkat dengan salah satu guru sewaktu sekolah ditingkat pertama. Di sebuah pelabuhan penyebrangan. Pak Junaidi namanya. Guru matematika yang hobi mengejar anak-anak yang bolos sekolah melompati pagar. Ya kalau di pikir percuma toh di kejar, wong pagarnya dari bambu dan tingginya hanya satu meter.
Beliau terpogo-pogo memikul 2 buah jerigen 25 Liter dari motornya ke sebuah speed boat. Pikirku waktu itu beliau sedang mengirim barang untuk keluarganya di seberang pulau. Namun, saya salah. Beliau berdagang.
Saya keheranan. Seorang guru yang hemat saya sudah tercukupi tapi tidak malu berjualan minyak dengan penuh semangat. Tanpa pikir panjang, beliau memanggil saya dan sedikit menanyakan aktivitas keseharian saya.
Rasa penasaran akhirnya mendorong saya untuk bertanya, "pak kenapa jualan minyak pak"?