Tahun 2018, adalah tahun politik. Dengan diselenggarakan pilkada serentak maka praktis pembahasan tentang politik utamanya pertarungan pemilihan kepala daerah menjadi makanan sehari-hari.
Di setiap sudut kota, desa, tempat kumpul, sampai di lingkungan keluarga menu pembahasannya ialah politik. Dengan menjagokan kandidat masing-masing tanpa pandang bulu masa lalunya, entah dia koruptor atau penjahat berdasi, masing-masing memiliki cara dan analisis tersendiri. Tentu saja perdebatan yang tiada unjung mewarnai obrolan tersebut.
Perdebatan politik di ruang terbuka oleh semua kalangan telah menciptakan seseorang seketika menjadi ahli dalam bidang politik, padahal dasar ilmunya tidaklah politik. Mahasiswa bisa lebih cinta pada politik, karena di tempa pada lingkungan politik, pejabat lebih semangat bercerita tentang analisis politik diikuti oleh pujian terhadap kandidatnya dan lupa tanggung jawab sampai pada tukang ojek yang gemar membahas politik. Kondisi ini dialami oleh semua orang, akademisi yang terlibat politik, ASN yang ikut-ikut politik sampai juga pada masyarakat awam yang dicekoki isu politik kesejateraan, tanpa pernah menerima pendidikan politik.
Terciptanya kondisi cinta politik sejak pembuka tahun dengan adanya rekomendasi dan tahapan pendaftaran calon adalah bagian awal gaduhnya kondisi sosial, mau bagaimana lagi, politik adalah komoditas terpenting di Indonesia. Sekali saja keluar kulit, maka pecah isinya. Pergulatan ini diperparah dengan pola pendidikan politik yang kian lemah, sehingga dalam membijaki persoalan dan perdebatan yang tidak ada habisnya tersebut berpotensi saling menghakimi. Hal ini juga diperkuat dengan politik etnis dan tidak bertanggung jawabnya lingkungan akademisi mengawal lajunya isu pilkada serta kekuatan dinasti para pejabat yang ambil bagian dalam proses pilkada hanya untuk berburu jabatan.
Artinya bahwa para pejabat, politisi, akademisi, bahkan mahasiswa ikut memperkeruh keadaan seperti politik "etnis", kolega, sampai dinasti dan kekuatan finansial. Tidak pernah pembahasan politik oleh aktor-aktor ini menjurus pada karya para kandidat, inovasi serta bersih atau tidak kandidat yang ikut bertarung dan yang paling urgens adalah pendidikan politik.
Kondisi-kondisi ini telah menciptakan keadaan yang tidak menyenangkan, sebab tidak setiap hari juga kita harus membahas politik. Ada orang-orang yang tanpa sadar, tidak tertarik pada pembahasan politik yang berulang-ulang. Begitupun dengan masyarakat, dengan maraknya pembahasan politik di setiap sudut justru akan menimbulkan konflik-konflik terbuka antara suku, kolega, keluarga, sampai teman sekalipun. Pembahasan politik yang produktif tidak mengenal tempat, di sosmed dapat kita saksikan.Â
Banyak perdebatan tidak masuk akal yang entah teorinya datang dari mana yang kemudian dipersoalkan, di grup-grup WA yang isinya akademisi-akademisi strata 1 sampai 3 membahas politik dengan gayanya masing-masing, saling serang  dan tuduh. Padahal, masih banyak hal lain yang perlu didiskusikan dan diperdebatkan.
Maka di tahun 2018, perdebatan tentang politik bisa saja, tetapi tidak bisa mengabaikan persoalan kehidupan lainya. 2018 terdapat banyak kegiatan prestisius, sebut saja Piala dunia dan Asian Games. Kedua perhelatan ini cukup menarik dibahas, selain sebagai olahraga perhelatan Asean Games perlu keterlibatan semua pihak agar dapat berjalan dengan baik karena berkaitan dengan harga diri bangsa.
Persoalan ekonomi juga perlu disoroti terutama dengan adanya kemarahan Trump yang berimbas pada pemotongan anggaran kepada negara-negara pendukung kemerdekaan Palestina. Pemotongan anggaran ini tentu akan mengganggu siklus perdagangan bebas, apalagi Amerika sebagai salah satu tujuan ekspor Indonesia dengan berbagai kesepakatan perdagangan. Dengan adanya pengurangan anggaran, maka praktis jumlah investasi Amerika ke Indonesia akan mengalami penurunan. Begitu juga dengan nilai tukar terhadap dollar sebagai alat tukar perdagangan semakin melemah akibat kebijakan-kebijakan tersebut.
Kita juga perlu menyoroti kekuatan ekonomi dalam negeri. Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 lalu, ternyata masih menyimpan berbagai kendala. Seperti pertumbuhan jumlah penggangguran, nilai tukar petani yang belum maksimal, melemahnya kontrubusi pertanian serta arah kebijakan pembangunan infrastruktur yang patut di cermati. Selain itu, persoalan pedesaan yang sarat korupsi akibat hadirnya dana desa harus mampu ditanggani dengan serius dan bijak. Begitu pula dengan agenda-agenda besar kehidupan semisal korupsi, ketimpangan pendapatan, moral generasi muda akibat pendidikan yang lemah, kualitas guru, arah pendidikan perguruan tinggi, budaya yang tergerus dll.
Persoalan-persoalan tersebut butuh pembahasan, kajian dan perdebatan secara produktif agar mampu mengawal semua lini. Jika pembahasan terlalu kuat pada konteks politik, tentu saja terjadi ketimpangan kehidupan yang sia-sia karena produktif politik tidak membawa apa-apa dan hanya meninggalkan bekas dan luka pada konteks kehidupan. Oleh karena itu tahun 2018, tidak harus dimaknai sebagai tahun politik. Perlu adanya penyamarataan pikiran dan akal pada konteks-konteks lain yang sebenarnya lebih melekat pada hajat hidup orang banyak.