Hanya beberapa penduduk desa yang berani kembali, kebanyakan mereka memilih menetap di tempat-tempat baru. Aku bisa menghitung, tidak sampai 20 KK. Benar-benar sunyi dan menakutkan. Siang hari itu kami hanya memukirkan bagaimana caranya kami memulai. Dari mana memulai, apakah membersihkan abu-abu vulkanik atau menengok cengkih-cengkih tersohor menjadi kayu bakar.Â
Lama kami begitu, berdiam diri di tenda-tenda buatan. Kamu belum diajak kembali,masih bersama ibumu giat menanam cengkih di pulau kecil itu, yang bahkan di petapun tidak ada tanda bahkan "titik". Di gendong naik ke bukit-bukit tinggi bertanah merah di temani nenekmu. Sedangkan ayahmu, akan ku ceritakan lain waktu.
Malam demi malam kami berteman sepi dan hanya di terangi lampu "loga-loga".kami harus benar-benar menghemat minyak tanah agar dapat terjaga, untuk makan kami mengandalkan logistik yang kami bawa dari desa tempat kita lari. Aku lupa, apakah waktu itu kita mendapat bantuan atau tidak, sebab situasi terlalu menyesakkan. Jika bekal habis, aku harus mendayung kembali ke kampung pelarian, dengan sampan kecil, menuju kayoa dan pelan-pelan menyusuri pelan demi pelan memakan waktu tiga sampai empat hari mendayung dan berlayar. Aku tidak sendiri, ada abang-abangmu yang masih remaja saat itu. Setahun full, rutinitas itu kami jalankan, membersikan tumpukan abu vulkanik, menggali sumur-sumur dan sesekali menanam satu sampai dua bibit cengkih dan pala perbulan. Â Sampai akhirnya benar-benar bisa tinggali, pun demikian dengan warga desa lain. Tahun itu adalah tahun cobaan terberat, karena harus menata hidup yang telah hancur berkeping-keping.
....(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H