Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menakar Zaman (2)

6 Januari 2018   13:21 Diperbarui: 8 Januari 2018   04:40 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Letusan Gunung Kie Besi. Dok. Ahmad Blogspot com

Di tahun 1991, kami kembali ke kampung asal dengan sedikit asah melekat. Baru saja nahkoda melempar jangkar, dan mesin yamaha 25 PK dimatikan, terdengar suara tangisan yang menghujam terumbuh-terumbuh karam.

Wajah-wajah basah oleh air mata keharuan dan kesedihan. Bercampur hati yang berat dan senang. kami kembali, setelah tiga tahun berpencar dan lari karena amukan tuan tuan tanah. Amukan yang tidak seorangpun dari penduduk desa mampu menahan, kuasa Allah tak ada yang seorangpun bergaya. Iya, letupan gunung merapi yang membuat mata terhenyak. Padahal kemarin, masih bersahabat.

--------- -  -  

Pagi itu di tahun 1988, penduduk desa bangun pagi seperti biasanya, abu vulkanik yang menghiasi langit desa mereka selama sebulan ini sudah menjadi keseharian kami. Nenekmu, bangun seperti biasa, membangunkan aku dan kemudian bergegas ke mesjid. Ibumu masih tertidur pulas dengan perut mirip semangka,kuhitung susah sembilan bulan.

Sepulang shalat, aku mengobrol di teras kepala desa. Beliau masih sehat waktu itu, sedangkan nenekmu langsung pulang. Mengambil kayu bakar yang aku tebang kemarin di hutan dan melemparnya diatas tungku batu kesayangannya. Pagi itu, bau kopi dan selapis "kue coe" menjadi hidangan. Sungguh rasanya cinta ini tidak pernah pudar.

Masyarakat desa juga sudah beraktivitas. Tetangga sebelah sudah mengasah parang, katanya mau memanen pala. Sedang sebelah lagi sedang tak ingin ke kebun, ia ingin makan ikan hari ini. Dia memancing. Aku sendiri nak, akan ke kebun. Lagi-lagi nenekmu sudah mempersiapkan bekal serantang. Ada ikan asap, nasi, sambal terasi dan sebotol air. Setelah mengasah parang, memakai baju dinas, aku pamit. Assallammuallaikum.

Langkah demi langkah terlewati, terhitung satu kilometer dan Pung..pung..pung.. Asap vulkanik yang kemarin masih erupsi berubah menjadi tebal, disertai kerikil dan batu-batu telempar dari mulut gunung. Tebalnya abu vulkanik, menjulang tinggi dan nyala larva kian hebat. Hari itu langit hitam pekat, tidak nampak sama sekali langit dan matahari. Alangkah terkejut dan terprangah, kie besi nama gunung kita meletus. Lama aku berdiri mematung tidak bisa bergerak sampai penduduk desa yang berlari pulang dari kebun menyadarkanku. Larilah kami bersama-sama. Erupsi itu masih mengasihani kami, sampai benar-benar mengamuk total.

Tidak sampai kami berkemas, dengan pakaian seadanya kami berlari ke pantai. Kamu tau nak, apa yang kami dapati saat itu? Hanya perahu-perahu sampan yang tidak mampu memuat semua orang. Kami hampir putus asa dan lagi kie besi benar-benar memahami kami. Dari kejauhan nampak kapal-kapal raksasa dari kerajaan ternate dan tidore mulai berdatangan. Ternyata abu vulkanik yang membesar tampak sampai menutupi gunung gamalama dan kie matubu. Kapal-kapal ini berlomba-lomba. Tanpa tau keadaan kami, dengan 20 desa yang harus di singgahi satu persatu. Tidak ada komunikasi. Banyak kapal kecil yang dekat ke pulau moti tempat perjanjian moti verboon atau bergabungnya indonesia timur ke NKRI itu bolak balik. Mengambil yang dekat dengan mereka, kami tidak pikir lagi yang terjadi selanjutnya. Ibumu hanya berharap kita selamat agar bisa melihat wujudmu.

Setelah hampir sejam, kami penduduk desa naik ke sebuah kapal besar terbuat dari kayu menuju Ternate. Dari atas laut, tangisan, doa dan istihfar du kumandangkan. Dari atas lautpulah saya harus merelakan semua kenangan masa kecil, harta benda dan pohon-pohon kelapa yang tumbuh gagah akan mati oleh panasnya debu vulkanik. Sesampainya di Ternate, tangisan penduduk desa belum terhenti, air mata bercampur wajah-wajah kotor abu vulkanik menjadu sambutan. Setelah itu, kami berpisah dan terpencar. Ada yang ke halmahera, ternate, yang sekarang menjadi kampung makean kecil, bacan dan kita menuju sebuah pulau kecil di daratan tawa. Disitulah kamu lahir selang beberapa hari. 

----------

Tangisan-tangisan itu tidak terhenti sampai kaki menginjak bibir pantai yang penuh debu vulkanik itu. Semakin pecah tangisan penduduk desa ketika mata memandang tak satupun pohon kelapa, cengkih dan pala yang hidup. Tak satupun rumah yang nampah utuh ber atap. Tak satupun sumur-sumur kelihatan bibirnya. Semua mati dan tertimbun. Abu-abu menutupi tingginya rumah-rumah yang terbuat dari gabah-gabah dan atap sagu, jalan-jalan tertimbun rata dengan ventilasi-ventilasi. Sejauh mata memandang hanya ada debu, gersang. Banyak "kali" tercipta akibat keluarnya lahar dingin, bahkan di seberang sana, kampung terbelah dua membentuk kali baru yang lebarnya bisa 700 meter. Yang sekarang menjadi batas antara suku makean dalam dan makean luar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun