Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Bedanya Dwi Hartanto dan Koruptor?

10 Oktober 2017   23:26 Diperbarui: 11 Oktober 2017   01:39 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Jacobsquiency Word Press

Pengakuan Dwi Hartanto membuat geger masyarakat Indonesia. Kebohongan yang dilakukan atas dasar ilmu pengetahuan dan sains terkuak setelah penulusuran yang di lakukan oleh  tim alumni TU Delft yang melibatkan beberapa pihak seperti Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Kebohongan ini juga di kuatkan oleh melalui surat ke website resmi Perhimpunan Pelajar Indonesia di Delf, Belanda.

Dalam pandangan sains dan ilmu pengetahuan, Dwi Hartanto telah melakukan kesalahan besar dan sangat fatal, pria yang digadang-gadang sebagai the next  Habibie ini mengklaim berbagai penemuan-penemuan sains penting yang mengharumkan nama Indonesia di kanca internasional sehingga mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Indonesia lewat KBRI Deen Haag Belanda. 

Kebohongan sains dan mendapatkan berbagai penghargaan tidak bisa di telolir, bahkan dalam Perguruan Tinggi, hasil-hasil riset selalu di tekankan keaslian dari riset yang dihasilkan. Plafiat dalam sebuah riset akan berdampak pada pencabutan gelar dan bentuk sanksi-sanksi lainya apalagi riset yang telah menjurus pada bentuk kebohongan publik.

Dwi Hartanto juga sebenarnya seorang mahasiswa yang memiliki prestasi gemilang, jika di telusuri secara mendalam. Dia adalah salah satu mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di Technise Universiteit Delft, dan prestasi S1 di Jogja yang  cukup lumayan. Namun Kebohongan publik yang di lakukan oleh Dewi Hartanto telah mencoreng asah dan nama baik Indonesia, terutama dalam bidang teknologi. Kecaman demi kecaman beredar di media massa dan menjadi pembahasan di lingkungan masyarakat, lingkungan akademis, di group-group WA, FB serta forum-forum diskusi.  Tentunya selain dari kecaman,  pembulian dan pengkucilan di terima oleh dwi hartanto.

Banyak kalangan melalui ulasan artikel-artikel memiliki kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Dwi Hartanto merupakan tindakan yang tidak terpuji dan menjurus ke Pembohongan Intelektual dan membutuhkan pengakuan. Ya, siapa yang tidak butuh pengakuan, satu-satunya yang membuat manusia berperilaku adalah dengan pengakuan. Dampak dari kebohongan yang dilakukan oleh Dwi Hartanto juga telah menciptakan sebuah ikatan psikologis pada pola pikir masyarakat, kebohongan di republik ini tidak bisa di telorir dan di maafkan.  Lantas apa yang membedakan Dwi Hartanto dengan koruptor?

Persamaan Dwi Hartanto dengan para koruptor adalah sama-sama merugikan nama, harkat dan martabat serta hak masyarakat Indonesia. Dwi Hartanto melakukan pembohongan publik dengan temuan -- temuan yang brialin dalam bidang sains, sedangkan koruptor melakukan pembohongan publik dengan merugikan kesempatan dan hak yang seharusnya milik rakyat. Para koruptor justru menghilangkan kesempatan dan menciptakan kesenjangan kepada situasi masyarakat dengan memperkaya diri.

Kerugian yang di hasilkan oleh perilaku korupsi justru sangat besar karena menyentuh semua sendi, seperti ekonomi ( lambatnya pertumbuhan dan investasi,trurnya produksi, menurunya pendpatan negara, ketimpngan kesejateraan dan pendapatan), dampak terhadap kerja-kerja birokrasi, politik dan hukum dan dampak sosial kemasyarakatan.

Setidaknya menurut hemat saya, dwi hartanto sedikit lebih baik dari para koruptor dengan mengakui kesalahan dan bersikap jantan meminta maaf. Walaupun sama-sama merugikan dan tidak dapat di maafkan.  Akan tetapi, sikap jantanya meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan, adalah tindakan yang harus di tiru oleh masyarakat, terutama pejabat publik.

Sedangkan para koruptor, tidak akan begitu saja menerima penghakiman dari masyarakat dan mengesampingkan etika serta norma untuk mengakui kesalahan dan menjalani hukuman. Bahkan berusaha mati-matian membela diri di hadapan publik dengan jargon " tidak terlibat dan dizolimi" telah membudaya dan bahkan sudah menjadi biasa di depan publik.

Jika di jepang, seseorang yang terlibat dalam lingkaran politik bahkan baru tertudu saja sudah cepat-cepat mengundurkan diri dan meminta maaf secara legowo di depan publik, tidak sama halnya dengan koruptor-koruptor yang ada di indonesia. Mereka masih berlenggang manis sebagai tersangka dan masih memegang peranan penting di kanca poltik dengan jabatan-jabatan strategis.

Minimnya sikap mengakui kesalahan yang terjadi pada oknum-oknum koruptor di Indonesia telah tejadi sangat lama, sangat jarang kita menemukan pejabat publik atau para tersangka korupsi yang mengakui kesalahan dan meminta maaf di depan publik. bahkan sikap yang ditunjukan adalah dengan mempertahankan diri dengan berbagi startegi dan kebohongan yang di cemarkan lewat media-media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun