Sebagian besar Orang Rimba justru hidup dan mencari nafkah di luar rimba.
Orang Rimba sudah lama menjadi buah bibir. Sorot mata para peneliti sosial, pemangku kebijakan, kalangan NGO, pegiat ilmu kebudayaan dan seterusnya, pada umumnya tertuju pada hubungan Orang Rimba dengan hutan. Bahkan Orang Rimba lah yang menjadi motif dasar dibalik gagasan pembangunan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) di Provinsi Jambi. Melindungi hutan berarti pula melindungi Orang Rimba dan kebudayaannya.
Setiap kenyataan tak selalu sesuai rencana, bahkan keduanya kerap kali berlawanan. Nguyub (31th), Wakil Temenggung dari kelompok Kejasung Godong mengungkapkan bahwa TNBD memang menjaga hutan, tapi tidak untuk ruang hidup Orang Rimba dalam arti yang sebenarnya. “Macam mano nak idup? Beburu bae dak boleh, apo lagi nak bukak kebon,” Katanya di sela acara jumpa pers mengenai penyebab kematian kerabat mereka, Jum’at (20/3), di Broni, Kota Jambi.
TNBD rupanya juga tak pernah membangun jalan. Padahal, menurut Temenggung Jelitai, jalan merupakan sarana distribusi hasil buruan dan hasil hutan lainnya. Demikian pula dengan sarana kesehatan: juga tak terdapat dalam hutan. Bahkan kematian anaknya – secara tak langsung – dipercepat oleh ketiadaan dua sarana penting tersebut. “Anak Sayo meninggal dalam perjalanan, waktu itu nak dibawo ke rumah sakit,” ungkap pimpinan kelompok Kejasung Godong itu.
Artinya, karena alasan sandaran ekonomi lah kenapa sebagian besar Orang Rimba – terdiri dari banyak kelompok – terpaksa keluar dari hutan. Menurut Nguyub, masih ada sebagian kecil Orang Rimba yang kini bertahan di dalam TNBD, namun bertahan atas inisiatif perorangan, lepas dari koordinasi ketemenggungan masing-masing.
Orang Rimba kini tinggal di kebun-kebun karet milik masyarakat desa di Kabupaten Batang Hari. Ada juga yang melakukan reclaiming dan mengambil buah sawit miliki perusahaan perkebunan. Sebagian lagi ada yang pindah ke Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) – terletak di Kabupaten Tebo.
Nguyub menambahkan, alasan lain kenapa dirinya pindah ke luar hutan, karena sarana pendidikan untuk anak-anak mereka ada di sana. “Lah sekitar tigo tahun ini kami netap di desa. Numpang lah jatuhnyo. Sambil nunggu anak nak sekolah,” sambung bapak delapan anak tersebut.
Hanya berburu babi
Hidup di desa, dengan status numpang di kebun masyarakat bukanlah keinginan semua pihak, baik Orang Rimba maupun masyarakat desa itu sendiri. Di sinilah seburuk-buruk pilihan: keahlian berburu masih dapat digunakan. Khusus untuk kelompok Kejasung Godong, seluruh anggota kelompok memilih tempat ini sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah untuk sementara. Tempat yang dimaksud berada di Desa Padang Kelapo, Kecamatan Sungai Rengas, Kabupaten Batang Hari, Jambi.
Mayoritas mereka dihidupi oleh hasil berburu babi. Daging babi yang mereka dapat dijual ke penampung setempat dengan harga Rp.4000/Kg. Dalam satu hari, menurut Nguyub, mereka mampu mendapat – sekurangnya – satu ekor babi dengan berat dalam kisaran 50 Kg. Dari sini lah kebutuhan dapur dipenuhi, tak lupa juga menyisihkan sisa biaya makan untuk ditabung guna keperluan sekolah anak-anak. “Yo dari situ lah bang. Ado lah siso dikit-dikit dari keperluan dapur,” lanjutnya.
Bersatu untuk pulang
Petang beranjak menjadi malam. Pukul 20.40 WIB, beberapa Orang Rimba berkumpul dan berdiskusi mengenai rencana selanjutnya. Salah satu poin yang disepakati adalah wacana konsolidasi: seluruh ketemenggungan yang kini terpencar di setiap tempat harus dikumpulkan, guna menyerap respon atas ajakan untuk pulang kampung. “Kito harus bikin kumpul godong dengan sanak-sanak kito. Kalu dapat kito bikin balai di rimbo kelak,” seru Amir, salah seorang anggota masyarakat Orang Rimba.
Diskursus pulang kampung tampak memancarkan aura positif dalam diskusi mereka. Kebudayaan Orang Rimba pada faktanya selama ini terbukti gagal dilindungi, tak sejalan dengan kegigihan Negara dalam melindungi tutupan hutan. Kegagalan tersebut tak lain merupakan buntut dari perlindungan atas sumber ekonomi Orang Rimba yang terlupakan.
Terlepas sengaja atau tidak, kelupaan itu memiliki efek pengabaian Negara atas hak hidup Orang Rimba. Negara tak semestinya salah mengambil sikap, dan tak boleh sempit dalam mengartikulasikan pelestarian hutan dan kebudayaan Orang Rimba.
###
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H