Mohon tunggu...
Salsa Shabrina
Salsa Shabrina Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penataan Permukiman Kumuh di Perkotaan Indonesia

28 Maret 2018   10:15 Diperbarui: 28 Maret 2018   10:25 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tingkat perpindahan penduduk dari desa ke kota di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan bahwa tingkat urbanisasi ini akan menyentuh angka 66,7% secara nasional pada tahun 2035. Bahkan beberapa provinsi akan memiliki angka urbanisasi hingga 70%, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Banten. Tingginya tingkat urbanisasi ini dapat terjadi, salah satunya karena adanya daya tarik dari kota-kota yang berkembang menjadi pusat-pusat kegiatan. Daya tarik inilah yang seolah megundang penduduk di sekitarnya untuk datang  mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik di kota-kota tersebut.

Tingginya tingkat urbanisasi akan memicu peningkatan jumlah penduduk di kota yang akhirnya sejalan dengan peningkatan kepadatan permukiman sekaligus kebutuhan akan pelayanan dasar. Namun peningkatan akan kebutuhan permukiman dan pelayanan ini tidak selalu diiringi dengan peningkatan pemenuhan kebutuhan pengembangan permukiman. Hal ini terjadi karena sebagian besar kota di Indonesia belum memiliki persiapan yang matang untuk menyambut kedatangan para pendatang tersebut. Baik untuk meningkatkan pelayanan bagi pendatang maupun mendayagunakan para pendatang tersebut. Hal ini mengakibatkan para pendatang mengalami kesulitan dalam mengakses pelayanan dasar sekaligus mencari pekerjaan di kota yang baru. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi pendatang yang kurang memiliki keterampilan untuk berkarya dan bertahan di kota.

Adanya ketidakserasian antara permintaan dan pemenuhan kebutuhan ini akhirnya memicu timbulnya kegiatan-kegiatan yang tidak saling menunjang di perkotaan. Salah satunya adalah munculnya kawasan permukiman kumuh. Kawasan-kawasan permukiman kumuh ini terus bertambah luas hingga mencapai angka 38.341 hektar secara nasional, dimana seluas 23 ribu hektar terletak di kawasan perkotaan (Dinas Cipta Karya, 2014).

Sejatinya pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menyelesaikan permasalahan permukiman kumuh ini sejak tahun 1984 melalui program Kampung Improvement Program (KIP). Program KIP ini berfokus untuk mengatasi permasalahan permukiman kumuh dengan melakukan perbaikan kondisi fisik lingkungan dan sanitasi. Melalui program ini, pemerintah mampu  menangani permasalahan permukiman kumuh dengan kemajuan yang cukup signifikan, dimana kualitas permukiman kumuh mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik.

Namun, program KIP tidak terlepas dari kelemahan. Dimana masyarakat kurang dilibatkan dalam proses penyusunan program ini. Program KIP merupakan program top-bottom, yang artinya bersumber dari pemerintah dan kemudian diterapkan kepada masyarakat. Karena sifat tersebut, program ini menjadi kaku dan kurang mampu mengakomodasi aspirasi dari masyarakat. Hal ini membawa beberapa dampak negatif salah satunya adalah rendahnya rasa memiliki dan keterikatan antara masyarakat dengan program KIP. Selain itu, muncul peluang terjadinya penolakan terhadap program KIP karena program ini dirasa masyarakat tidak sejalan dengan keinginan yang dimiliki oleh masyarakat di permukiman kumuh.

Kelemahan program KIP tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya partisipasi masyarakat memiliki peran penting dalam mengatasi permasalahan perkotaan. Hal ini sesuai dengan teori tata kelola perkotaan yang diungkapkan oleh Ridwan Sutriadi. 

Menurut beliau, salah  satu elemen utama dalam tata kelola perkotaan adalah pengelolaan lembaga perkotaan yang meliputi partisipasi masyarakat. Dengan adanya partisipasi masyarakat, pemerintah akan terbantu untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Sehingga pemerintah dapat mengetahui keinginan dan kebutuhan dari masyarakat serta meminimalisir penolakan program dari masyarakat. Selain itu, dengan adanya partisipasi masyarakat dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah perkotaan karena sejatinya masyarakat merupakan salah satu stakeholder yang memiliki sentimen dan ekspektasi tersendiri dalam suatu pengembangan perkotaan.

Salah satu contoh penyelesaian permasalahan permukiman kumuh yang melibatkan masyarakat adalah program Baan Mankong di Thailand. Pada program ini, masyarakat dilibatkan sejak awal dalam merumuskan penanganan permukiman kumuh di lingkungannya. Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh diajak untuk mengidentifikasi kebutuhan di permukiman mereka sekaligus merencanakan program perbaikan dalam kurun waktu 5 tahun. Setelah rencana perbaikan tersebut terbentuk, pemerintah akan menyalurkan anggaran melalui CODI (Community Organizations Development Institute) untuk merealisasikan rencana perbaikan tersebut langsung menuju masyarakat.

Melalui program Baan Mankong, pemerintah Thailand behasil mengurangi jumlah permukiman kumuh secara signifikan. Selain itu program ini juga memiliki tingkat penolakan masyarakat yang cukup kecil karena masyarakat sudah dilibatkan sejak awal dalam proses perencanaannya.

Di Indonesia, konsep penyelesaian masalah pekotaan dengan meningkatkan partisipasi masyarakat, mulai diterapkan melalui program Kota Tanpa Kumuh atau Kotaku. Kotaku merupakan program penanganan permukiman kumuh yang memiliki gerakan utama 100-0-100, yaitu 100 persen akses universal air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak. Secara umum, program Kotaku berfokus pada peningkatan kualitas infrastruktur pada kawasan permukiman kumuh. Pada program ini, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam membangun infrastruktur yang akan digunakan untuk memperbaiki kondisi permukiman kumuh tersebut.

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemukiman kumuh merupakan salah satu permasalahan yang tidak dapat dihindari oleh perkotaan. Hal tersebut terjadi karena permukiman kumuh muncul seiring dengan perkembangan kota yang menarik pendatang untuk menetap di kota tersebut. Meskipun tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, permukiman kumuh dapat dikurangi melalui perencanaan kota yang komprehensif dengan melibatkan masyarakat secara langsung. 

Dimana penanganan permukiman kumuh tidak sekadar bersifat top-down,melainkan juga bersifat bottom-up yang mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh tersbeut. Dengan adanya keterlibatan masyarakat, pemerintah akan terbantu untuk mengidentifikasi kebutuhan dan ekspektasi dari masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh. Dengan begitu, pemerintah dapat menyamakan persepsi dengan masyarakat mengenai penanganan kawasan permukiman kumuh sehingga penanganan permukiman kumuh dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

Sumber: 

1 2  3 4  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun