Dalam kesunyian di penghujung renjana
Di bawah naungan purnama Â
Seorang pujangga mengelar kisah romansa
Bercerita dengan nada cinta dalam nuansa duka
Â
Rasaku masih tersaji dalam segelas kopi yang sama
Tanpa sebutir gula
Di setiap serbuknya  yang menyimpan doa kita
Dengan tegukan pertama yang merampalkan luka
Â
Desir angin malam menyampaikan sebuah pesanÂ
Melayang bersama sebuah jeritan
Dari sosokmu yang sangat mengancamÂ
Yang pernah memberikan luka yang menghujam
Â
Pernah ku pinta dan berbisik
Lantas kau bilang ku terlalu berisik
Lalu kupinta dengan lantang
Namun kaupergi dan menghilang
Â
Ku sengaja menghindar
Agar kau tersadar
Naas, malah semakin gencarÂ
Semagatmu mendua pun semakin berkobar
Â
Ingin sekali ku memaki
Namun rasanya tak cukupÂ
Diam pun tak sanggup
Kali ini pintu dan kata maaf  sudah tertutupÂ
Â
Dulu kukira kau tempat pulang
Namun, sekarang terlihat seperti jurangÂ
Yang membuatku takut tuk menerjang
Karena tak ingin melayang dan hilangÂ
Â
Kebencian yang membakar jiwa
Tak mudah padambegitu saja
Apalagi dengan kata-kata
Tak cukup tuk menutup luka yang menganga
Â
Laknat memangÂ
Kenapa perasaan ini selalu terkenang
Bahkan membentuk genangan
Yang sulit di singkirkan
Â
Seperti mawar yang layuÂ
Terpancar sinar mata yang sayu
Tak mungkin lagi menyatu
Karena tinggal bekas luka yang menderu
Â
Janji setia kawanan yang semu
Menumbuhkan pertanyaan baru
Semua menyatu bagai peluru
Yang mampu meledaksetiap waktuÂ
Â
Terlalu banyak drama
Memainkan dengan penuh duka
Seolah kau yang tersiksa
lakonya siapa?Â
Â
Tak cukup ku berdamaiÂ
Membiarkan mereka terbang bersama angin sepoi-sepoiÂ
Sementara disini aku hancur dan tak bisa bersantai
Â
Kawan berubah jadi lawan
Sungguh ucapan yang tak pantas di sandingkanÂ
Teruntuk manusia pemakan teman
Yang menghancurkan kepercayaan.