Mohon tunggu...
Ade K.I
Ade K.I Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Cuma Mahasiswa yang berusaha lulus tepat waktu dengan ipk di atas 3.5 :)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Poligami dalam Hukum Islam: antara Kewajiban, Keadilan, dan Realitas Sosial

2 Desember 2024   18:31 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:36 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bincangmuslimah.com/kajian/mengenal-konsep-poligami-dan-monogami-dalam-islam-34507/

Poligami, sebagai praktik yang diizinkan dalam hukum Islam, sering kali menjadi topik perdebatan yang menarik dan kontroversial. Di satu sisi, poligami dianggap sebagai solusi untuk berbagai masalah sosial dan ekonomi, sementara di sisi lain, banyak yang mempertanyakan keadilan dan dampaknya terhadap hubungan antar individu. Meskipun Al-Qur'an memberikan batasan hingga empat istri dengan syarat utama yaitu keadilan, pertanyaan yang muncul adalah: apakah keadilan itu benar-benar dapat dicapai dalam praktiknya? Banyak ulama berpendapat bahwa meskipun poligami diperbolehkan, pelaksanaannya sering kali jauh dari ideal dan menimbulkan tantangan tersendiri. Dalam konteks masyarakat modern yang semakin menekankan nilai-nilai kesetaraan dan hak asasi manusia, poligami menghadapi kritik tajam, di mana banyak yang berargumen bahwa praktik ini dapat menimbulkan ketidakadilan dan konflik dalam keluarga. Namun, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa dalam situasi tertentu, seperti ketika seorang istri tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga karena alasan kesehatan atau lainnya, poligami bisa menjadi pilihan yang bijaksana. Dengan latar belakang ini, penting untuk mengeksplorasi pandangan hukum Islam mengenai poligami, kewajiban suami, serta realitas sosial yang dihadapi oleh keluarga-keluarga poligami saat ini.

Definisi Poligami

 Poligami, yang didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan lebih dari satu istri secara bersamaan, merupakan praktik yang diizinkan dalam hukum Islam dengan batasan tertentu. Dalam konteks ini, Al-Qur'an memberikan pedoman yang jelas mengenai poligami, terutama dalam Surah An-Nisa ayat 3 dan 129. Ayat tersebut menyatakan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk menikahi hingga empat istri, dengan syarat utama adalah kemampuan untuk berlaku adil di antara mereka. Keadilan ini mencakup aspek material dan emosional, seperti nafkah, tempat tinggal, dan perhatian. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk berpoligami, seorang suami harus memastikan bahwa ia mampu memenuhi semua hak dan kebutuhan istri-istrinya tanpa diskriminasi. 

Meskipun poligami diizinkan dalam Islam, banyak ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai pelaksanaannya. Sebagian ulama mendukung poligami dengan memberikan syarat yang lebih longgar, sementara yang lain lebih ketat dalam menetapkan persyaratan. Ada juga pendapat yang melarang poligami kecuali dalam keadaan tertentu, seperti ketika seorang istri tidak dapat melahirkan atau ketika ada kebutuhan sosial yang mendesak. Hukum Islam tidak menganggap poligami sebagai kewajiban (wajib), namun juga tidak melarangnya secara mutlak (haram).  Beberapa ulama menyatakan bahwa poligami seharusnya hanya diterapkan dalam situasi tertentu yang mendesak, seperti ketika seorang istri tidak dapat melahirkan atau ketika ada kebutuhan sosial yang mendesak. Tetapi ada juga pendapat yang menekankan bahwa poligami harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran akan hak-hak semua pihak yang terlibat. Dengan mengutip pendapat ini, artikel akan mencerminkan keragaman pandangan dalam komunitas Muslim mengenai praktik poligami. 

Dasar Hukum Poligami

Di Indonesia, dasar hukum poligami juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa seorang suami dapat beristeri lebih dari satu orang dengan syarat adanya persetujuan dari istri pertama dan izin dari pengadilan. Hal ini menegaskan bahwa meskipun hukum Islam membolehkan poligami, pelaksanaannya harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan melalui prosedur yang jelas untuk mencegah penyelewengan hak-hak istri. Selain itu, Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan juga menjelaskan alasan-alasan yang dapat menjadi pertimbangan bagi pengadilan untuk memberikan izin poligami, seperti ketika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya atau mengalami cacat badan yang tidak dapat disembuhkan.Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai poligami. Dalam KHI Pasal 57, dijelaskan bahwa syarat-syarat untuk melakukan poligami meliputi :

1.  persetujuan dari istri-istri yang ada

2.  kemampuan suami untuk menjamin kebutuhan hidup mereka

3. serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap semua istri dan anak-anak mereka. 

Dari ketentuan tersebut, hukum Islam memberikan kerangka kerja yang jelas untuk praktik poligami dengan tujuan untuk melindungi hak-hak wanita dan memastikan keadilan dalam keluarga sehingga terwujud keluarga yag harmonis.

Realitas Poligami Dalam Era Modern

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian di Kota Palopo, terdapat 10 responden yang melakukan poligami, di mana 50% dari mereka memiliki tiga istri. Lamanya praktik poligami bervariasi, dengan 30% responden telah berpoligami selama 10 hingga 15 tahun. hanya 30% responden yang mendapatkan dukungan dari istri dan anak-anak mereka, sementara 70% lainnya melakukannya tanpa dukungan dari keluarga.  Penelitian menunjukkan bahwa praktik poligami sering kali menimbulkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam hubungan antar anggota keluarga. 


Dalam konteks sosial, praktik ini sering kali menimbulkan berbagai dampak yang mempengaruhi dinamika keluarga dan masyarakat secara luas. Masyarakat kontemporer cenderung menghargai hubungan monogami yang sehat dan setara, yang memungkinkan keseimbangan, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua anggota keluarga. Namun, ketika poligami diterapkan, sering kali muncul ketidakadilan dan ketidakseimbangan yang merugikan pihak-pihak tertentu, terutama perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan yang terlibat dalam hubungan poligami sering kali merasa terpinggirkan dan tidak memiliki kekuatan tawar dalam hubungan tersebut. Ketidaksetaraan ini dapat mengakibatkan perempuan menjadi lebih rentan terhadap penindasan atau perlakuan tidak adil, terutama dalam hal alokasi sumber daya dan perhatian dari suami. 

Dari sisi psikologis, poligami juga dapat menciptakan lingkungan yang tidak aman secara emosional bagi perempuan. Rasa cemburu dan ketidakpastian sering kali muncul di antara istri-istri, yang dapat mengganggu kesejahteraan mental mereka. Selain itu, poligami sering kali menyebabkan keterbatasan akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi dan pendidikan. Istri kedua atau berikutnya mungkin memiliki akses terbatas terhadap pendidikan atau kesempatan kerja, yang menghambat kemampuan mereka untuk mandiri secara ekonomi. Keterbatasan ini berpotensi memperburuk ketidaksetaraan gender dan menghambat kemajuan menuju pemberdayaan perempuan dalam aspek sosial dan ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dalam keluarga poligami sering kali mengalami kebingungan identitas dan masalah emosional akibat dinamika keluarga yang rumit. Selain itu, istri-istri dalam hubungan poligami sering kali merasakan tekanan psikologis yang signifikan, seperti kecemburuan dan ketidakpastian mengenai posisi mereka dalam keluarga. 

Dalam memahami poligami dalam hukum Islam, kita dihadapkan pada kompleksitas yang melibatkan kewajiban, keadilan, dan realitas sosial. Meskipun poligami diizinkan, pencapaian keadilan dalam praktiknya sering kali sulit, terutama dalam masyarakat modern yang menekankan kesetaraan dan hak asasi manusia. 

Kesimpulan

Kami dapat menyimpulkan bahwa poligami dalam hukum Islam adalah praktik yang di izinkan dengan syarat utamanya adalah keadilan, bersifat material dan emosional. Meskipun poligami diatur sampai empat istri dalam Al-Qur'an, implementasi keadilan adalah tantangannya. Lalu, dalam konteks moderen, praktik tersebut diserang secara signifikan melalui ketidakadilan, konflik keluarga, dan ketidakharmonisan sosial. Poligami di Indonesia berdasarkan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam disahkan dengan persetujuan istri, kemampuan suami dalam memberi nafkah, dan keharusan berlaku adil. Namun, kenyataannya adalah bahwa sebagian besar praktik poligami tidak terjadi dengan dukungan keluarga dan menciptakan ketidakadilan, baik dalam hal psikologis maupun sosial.
Poligami sering kali berdampak negatif bagi kesejahteraan perempuan dan anak seperti, menyebabkan ketidakseimbangan gender, ketegangan emosional, dan membatasi hak mereka untuk menerima pendidikan atau sumber daya ekonomi yang layak. Dalam masyarakat modern yang mencoba memperbaiki kesalahan masyarakat pra-modern melalui prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia, praktik poligami secara pernyataan tidak dapat diterima dan tidak akan menguntungkan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun