Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel bagian pertama (lihat http://www.kompasiana.com/oguds/halusinasi-anti-riba-ala-syariah_56bfae5cf47a618f0c947350). Pertama perlu disepakati dahulu bahwa pembahasan riba di sini disempitkan menjadi bunga (interest) dengan landasan hukum Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga. Fatwa tersebut merujuk pula dalil-dalil Quran dan Hadist. Pembatasan ini diperlukan agar tidak muncul argumentasi yang tidak berkesudahan dan perdebatan tanpa alasan yang jelas (debat kusir). Diskusi menggunakan akal sehat (common sense) artinya pembahasan dengan menggunakan pemahaman kebanyakan orang, tidak berpikir secara rumit yang dapat memelintir sesuatu menjadi tidak jelas.
Pengertian bunga sesuai Fatwa MUI adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang. Sesuai pengertian tersebut, pinjaman dengan tambahan lebih banyak diartikan mempunyai kadar riba yang lebih besar. Di bagian pertama saya mempertanyakan manakah yang lebih riba, bank syariah atau bank konvensional? Saat ini dari hasil survei beberapa bank syariah, persentase margin profit (istilah bunga versi syariah) paling rendah ada di kisaran 7 s/d 7.5% per tahun. Sehingga sesuai contoh di bagian satu, pinjaman saya di bank konvensional (sebesar 5.4% per tahun) ternyata mempunyai kadar riba lebih kecil dari bank syariah. Secara akal sehat, bank konvensional lebih anti riba daripada bank syariah.
Jadi merujuk Fatwa MUI tersebut, bank syariah dinyatakan lebih haram karena menghasilkan pengembalian pinjaman yang lebih besar. Nah, mengapakah bank syariah justru menyuburkan praktek-praktek riba, terbalik dengan apa yang seharusnya dilakukan? Hal ini seharusnya dijawab oleh bank syariah itu sendiri. Namun setidaknya kita bisa menduga ada dua penyebabnya, yaitu (a) tidak mampu memperoleh dana murah, dan (b) biaya operasional bank yang tinggi atau tidak efisien.
Alasan (a) menunjukkan bank syariah kurang kreatif dalam mencari sumber-sumber pendanaan murah. Padahal masyarakat sebagai salah satu sumber dana saat menabung di bank syariah sudah tentu tidak mengharapkan imbalan yang tinggi. Mereka ingin mempraktekkan anti riba secara kaffah, mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal menuju surga yang sudah dijanjikan. Bank syariah juga dapat menerbitkan obligasi syariah atau sukuk dengan imbalan yang rendah. Cara yang lebih murah lagi adalah melalui penjualan saham. Namun ini sekaligus menjadi cermin, apakah umat Islam sendiri sebagai kaum mayoritas percaya dan mendukung anti riba secara keseluruhan? Ataukah kita berhadapan dengan masyarakat yang munafik, menganggap Islam adalah jalan yang lurus tapi perbuatannya malah berbelok-belok?
Salah satu siasat bank syariah menghindari riba, selain mengganti istilah Indonesia menjadi Arab, adalah mengganti cara bertransaksi. Misalnya dalam pembiayaan KPR, skema yang digunakan adalah jual beli (murabahah) atau penyewaan (ijarah). Maksud keduanya sama saja, bank meminjami uang (plus keuntungan) kepada pembeli. Demi menghindari ketidakpastian (gharar) maka semuanya dibuat jelas di muka. Nah, kejelasan ini sebenarnya bisa menguntungkan atau malah merugikan. Bila suku bunga cenderung naik, misalnya kondisi ekonomi memburuk, bunga yang fix akan menguntungkan. Namun untuk ekonomi yang membaik, contohnya sekarang, justru kepastian ini membuat beban riba semakin besar. Justru cara yang paling adil dan berkeadilan bagi semua pihak adalah bank konvensional dengan suku bunga berubah-ubah setiap tahun (floating).
Selain itu, Fatwa MUI di atas juga mengandung cacat yang perlu diperbaiki. Larangan terhadap riba seharusnya berlaku hanya terhadap piutang (pemberi hutang atau kreditur) dan tidak berlaku terhadap hutang (peminjam uang atau debitur). Sesuai firman Allah SWT (dikutip dari Fatwa tersebut), "... janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda... ". Peminjam uang tidak berada dalam posisi memakan, justru uangnya dimakan, sehingga tidak perlu ikut diharamkan. Peminjam ketika menandatangani akad dengan kesadaran penuh dan hati yang utuh bersedia mengembalikan uang sejumlah yang disepakati. Transaksi yang terjadi sepenuhnya halal karena dibuat dengan mempertimbangkan keuntungan dari kedua belah pihak. Apalagi di tengah pasar keuangan yang telah berlaku sehat dan sempurna.
Dalam sistem ekonomi saat ini, besarnya suku bunga ikut dipengaruhi oleh besarnya inflasi. Ada sejumlah pihak yang menyimpulkan ini akibat penggunaan uang kertas yang nilainya berasal dari kehampaan dan ditentukan oleh pihak tertentu. Padahal sebagai alat tukar, apakah itu uang kertas, logam, emas, atau perak, nilainya tidak berasal dari barang itu sendiri, melainkan mekanisme pasar. Sebagai ilustrasi, nilai 1 gram emas (dari pihak A) vs 1 kg beras (pihak B), dalam kondisi pasar sederhana, adalah kesepakatan kedua pihak. Ketika A sangat butuh makan, ia bersedia menukar 1 gram emas dengan 10 kg beras. Namun ketika A sedang kolesterol tinggi, ia hanya mau melepas 1 gram emas dengan 5 kg beras. Demikian pula sebaliknya. Prinsip ekonomi dasar ini sudah diajarkan di tingkat SMP.
Kita bisa melihat realita harga minyak dunia yang kini sedang terpuruk. Biaya produksi minyak ada di kisaran $USD 50 per barel, tapi dijual dengan harga $USD 30-an. Jual rugi ini terpaksa dilakukan agar produsen minyak tetap mendapatkan pemasukan, karena mereka butuh uang untuk makan dan masih ingin hidup. Seiring waktu berjalan, efisiensi produksi dan intensifikasi penggunaan minyak terus dilakukan, hingga tercapai titik keseimbangan baru. Pencetakan uang kertas pun butuh biaya dan bisa terjadi biaya produksi lebih tinggi dari nominal yang tertera. Misalnya uang kertas berdenominasi Rp 1000 atau Rp 2000.
Penggunaan uang emas atau perak pun sudah lama ditinggalkan. Hal ini bukan akibat pengaruh Wahyudi, Mamarika, atau Paparika, tapi ditolak oleh akal sehat. Uang emas ditinggalkan karena tidak lagi layak sebagai alat tukar dan instrumen moneter. Selain emas jumlahnya terbatas, pemakaiannya rumit, dan tidak ada beda fungsinya dengan kertas. Secara awam, membedakan emas asli dan palsu tentu sulit, termasuk kadar dan beratnya. Lebih mudah mengenali uang kertas dengan 3D: dilihat, diraba, dan diterawang. Tidak heran saat ini tidak ada satu pun negara di dunia yang menggunakan uang emas. Bilapun ada pihak yang menganjurkan kembali kepada uang emas, kembali ke masa dimana ekonomi masih sederhana, biasanya pihak ini terdiri dari dua pihak: kaum radikal atau penjual koin emas.
Sebagai penutup di bagian dua, kita perlu meneguhkan kembali rasa syukur kita akan peradaban manusia yang sudah tercapai saat ini. Secara obyektif kehidupan dunia sekarang lebih baik dari 10, 100, atau 1000 tahun yang lalu. Tidak ada perlunya mengusung sistem ekonomi baru, apalagi sekedar berganti istilah, karena perjalanan sejarah yang membuktikan suatu sistem mampu bertahan atau tidak. Bila evolusi manusia mengenal prinsip "survival of the fittest", seperti itu juga ekonomi atau sistem atau apapun. Sesuatu yang tidak cocok atau kalah bersaing akan punah dengan sendirinya. Semoga Allah SWT senantiasa merestui segenap usaha kita semua, amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H