Seringkali saya mendapat artikel yang menyuarakan gerakan anti riba. Seketika itu pula saya ingin menulis artikel pembanding, dan hari ini sedikit tercapai. Barangkali tidak sepenuhnya lengkap, tapi paling tidak mengawali niatan yang baik. Mohon dibaca dengan pikiran bebas dan akal yang sehat.
Anti riba itu sesungguhnya berniat mulia dan menuruti perintah agama. Dalam hal ini riba saya sempitkan maknanya menjadi bunga (interest), sesuai praktek yang umum dilakukan dan dipahami banyak orang. Salah satu rujukan adalah Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga, yang di dalamnya merujuk pula Al-Quran dan Hadist. Namun saya mengajak kita semua melihat kaidah-kaidah itu dalam rangka menjalani hakikat beragama dan ber-Tuhan. Bagaimanapun, teks-teks di kitab suci dan hadist perlu ditafsirkan sedemikian rupa sesuai konteks di zamannya.
Sebenarnya ada cacat serius dalam mengamalkan anti bunga dalam konteks kekinian. Saya menemukan setidaknya pengabaian terhadap tiga hal, yaitu penurunan nilai uang atau inflasi, operasional lembaga atau bank, dan insentif jasa. Bila tanpa mengenakan bunga, pemilik modal bukan saja tidak mendapatkan keuntungan apapun, tapi malah menghasilkan kerugian. Jadi bila maksud anti riba adalah melindungi semua pihak dari kezaliman, sudah tentu hal itu nyata-nyata tidak terpenuhi.
Kita urai satu sisi saja, yaitu mengapa terjadi inflasi? Kita bisa mengambil dari satu sudut: penciptaan uang secara berulang-ulang. Jangan diartikan penciptaan di sini adalah mencetak uang semaunya sendiri. Mekanisme yang banyak dilakukan adalah mengumpulkan dana masyarakat melalui penerbitan surat hutang. Uang yang terkumpul, dibelanjakan lagi ke masyarakat, dikumpulkan lagi, dibelanjakan lagi, begitu berulang-ulang. Akibatnya uang yang beredar semakin banyak yang berakibat nilainya semakin turun.
Setiap orang pun bisa menciptakan uang. Caranya sederhana, menanam pohon pisang dan menjual hasilnya ke pasar. Agar pisang tadi dibeli orang, maka dibutuhkan uang setara sebagai alat tukar. Bayangkan bila orang satu kampung menanam pisang dan menjualnya secara bersama-sama. Dampaknya bisa dua kemungkinan, harga pisang yang semakin turun (inflasi pisang) atau penciptaan uang yang perlu ditambah. Contoh tadi menunjukkan tambahan uang ke pasar merupakan suatu keniscayaan agar ekonomi terus bertumbuh.
Nah, praktek anti riba sendiri sesungguhnya bagaimana? Sesuai Fatwa MUI di atas, bentuknya berupa lembaga keuangan syariah atau bank syariah. Namun lagi-lagi, benarkah pratek-praktek di situ mengurangi kezaliman? Justru itu, di sinilah hikikat ber-Tuhan dan berakal sehat tidak menemukan tempatnya. Sebagai contoh hidup adalah saya sendiri, dari pengalaman berkeliling bank tiga tahun lalu.
Pinjaman saya di Bank Commonwealth dikenakan bunga 7.5% p.a. selama 2 tahun pertama, selanjutnya floating (kini 13.5%) selama 3 tahun. Total yang harus dikembalikan selama 5 tahun adalah (dibulatkan ke atas) Rp 127 juta, atau bila di-flat-kan sebesar 5.4% setahun. Sekarang, bank syariah mana yang bisa memberikan bunga atau bagi hasil atau margin atau apapun namanya lebih kecil dari itu? Bagi konsumen, sebenarnya tidak peduli syariah atau bukan, riba atau bukan, asalkan itu lebih menguntungkan mereka pasti pindah.
Jadi bila penetrasi bank syariah di perbankan nasional masih di kisaran 5% dan semakin turun, sebabnya sederhana saja. Mereka tidak mampu bersaing karena pinjaman mereka lebih mahal. Alasan lebih aman dari fluktuasi bunga, atau alasan lainnya, nyatanya lebih membawa mudharat ketimbang manfaat. Bila pun ekonomi nanti gonjang-gonjing, biarkan itu urusan nanti dan kita cari jalan keluarnya bagaimana. Namun hari ini kita butuh sekarang. Toh, apakah kita hidup 5 tahun lagi, siapa bisa tahu?
Namun lembaga perbankan syariah tetaplah punya pangsa pasar tersendiri. Saya pun menaruh tabungan cukup besar di BRI Syariah. Alasannya konvensional saja: tanpa biaya administrasi dan mudah/murah transfer uang. Menunjukkan lagi pra-syarat berlakunya dalil riba, yaitu pasar yang tidak sempurna. Dalam kondisi pasar sempurna, di mana pembeli dan penjual bersaing secara sehat, keuntungan merupakan titik keseimbangan kedua pihak. Bila kedua pihak saling diuntungkan, kezaliman tidak berlaku.
Demikianlah pandangan saya tentang gerakan anti riba. Sekedar catatan penutup, mari kita mengamalkan agama menggunakan akal sehat. Syukurilah peradaban dunia yang telah kita capai saat ini. Janganlah menihilkan apalagi merendahkan kerja keras banyak orang melalui caranya masing-masing. Menyerukan perbuatan baik tentulah dengan cara yang baik dan tujuan yang baik. Semoga Allah SWT meridhoi segala upaya yang kita lakukan. Amin.
Bersambung di "Halusinasi Anti Riba ala Syariah Part 2".