Di sebuah pagi yang basah, Raka menatap sepasang sepatu tua yang bersandar di sudut kamar, seakan menunggu panggilan perang yang tak akan pernah datang lagi. Sepatu itu sudah usang, dengan warna pudar dan tali yang seringkali lepas saat ia berlari di lapangan. Tapi bukan sepatu itu yang Raka ingat, melainkan cerita dibalik sepatu itu yang  ia simpan, bahkan lebih tua dari sepatu itu sendiri.
Dulu, di hari-hari sekolah yang panjang, Raka dan Bayu selalu bersama. Mereka tak pernah terpisahkan, bagaikan dua kutub magnet yang berbeda namun tak bisa saling berjauhan. Di bawah langit yang kadang cerah, kadang hujan, mereka selalu berlari bersama. Menang dan kalah di lapangan, tak jadi soal. Asal mereka berdua, semuanya terasa sempurna.
"Sepatu lo kayak dinosaurus, Rak!" Ucap Bayu sembari tertawa.
Sementara Raka hanya melirik sepatu tua yang sudah melewati ribuan cerita---terjatuh, bangkit, dan tertawa lagi.
"Iya, tapi sepatu ini yang bikin gue selalu bisa nyusul lo di lapangan," jawab Raka, setengah bercanda.
Setiap hari, suara sepatu mereka menjejak aspal seolah-olah menciptakan simfoni masa muda yang tak akan pernah mereka dengar lagi. Di hari-hari itu, mereka tak memikirkan apa pun kecuali hari esok yang selalu terlihat panjang. Mereka tak pernah sadar, waktu juga berlari. Diam-diam, waktu mencuri momen-momen kecil mereka: tawa, adu lari, hingga janji-janji yang pernah terucap saat matahari terbenam.
"Besok, kita bakal tetap di sini, kan?" Raka pernah bertanya di satu sore yang sunyi.
Bayu pun, dengan senyum lebar yang meyakinkan, menjawab, "Selamanya!".
Namun, selamanya tak pernah seindah yang dibayangkan. Kini, di kamar yang sepi, hanya sepatu tua itu yang tersisa. Bayu pergi. Bukan dengan perpisahan yang megah atau air mata yang deras, tetapi dengan sunyi yang begitu menusuk. Dunia mereka yang dulu terasa tak terpisahkan, kini seperti pasir di tangan---pelan-pelan hilang, terbawa angin tanpa disadari.
Raka tersenyum pahit. "Selamanya?" gumamnya, seolah ingin menantang janji yang pernah mereka buat.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu, persahabatan mereka bukanlah tentang seberapa sering mereka bertemu. Bukan juga tentang seberapa lama mereka menghabiskan waktu bersama. Persahabatan mereka adalah tentang jejak-jejak yang tertinggal, jejak yang tak pernah benar-benar hilang meski waktu terus berlari lebih cepat dari langkah sepatu tua itu.
Di luar, hujan mulai reda, meninggalkan aroma tanah yang basah. Raka berdiri, mengikat tali sepatunya yang lepas, dan melangkah keluar. Di lapangan kenangan itu, ia berlari---bukan untuk mengejar Bayu, tapi untuk mengenang.
Sebab, dalam setiap langkah, Bayu selalu ada. Di antara tawa yang hilang, di antara jejak yang terhapus hujan, dan di antara sepasang sepatu tua yang kini tak lagi sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H