Mohon tunggu...
ogi
ogi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mitos Jurnalisme

8 Juni 2016   01:55 Diperbarui: 8 Juni 2016   02:01 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana dengan teori realitas media? Menurut Akbar S. Ahmed, ada beberapa karakteristik media. Pertama, media tidak setia dan tidak ingat teman. Kedua, media memperhatikan warna kulit dan pada lahirnya bersifat rasis. Ketiga, media adalah pengabdian diri dan bersifat sumbang. Keempat, media massa telah menaklukan kematian. Kelima, pada dasarnya media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat umum. Keenam, media telah membuat fakta menjadi lebih asing daripada fiks, sehingga fiksi lebih enak dilihat dan didengar. Ketujuh, media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan spiritual. Kedelapan, media kuat karena teknologi tinggi, tetapi lemah karena antropologi kultural. Kesembilan, dalam dunia kita media memainkan peran kunci dalam masalah internasional dan akan terus meningkatkan peran tersebut.

Salah satu pembentuk konstruksi realitas di dunia modern adalah media masssa. Burhan Bungin menyebutkan media massa, termasuk surat kabar, menjadi variable yang sangat substantif dalam proses eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Karena pengaruh media masssa itulah, Burhan Bungin memunculkan teori bagus sekaligus revisi terhadap teori Berger dan Luckman dengan tiga terminologi, yaitu eksternalisasi, subjektivikasi dan intersubjektif. Inti dari teori ini terletak pada sirkulasi informasi cepat dan luas yang disebarkan oleh media massa, sehingga konstruksi sosial akan berlangsung sangat cepat dan sebarannya merata.

Bahasa dan kontruksi realitas media. Manusia adalah makhluk yang berbahasa. Pada tahap selanjutnya, bahasa tutur mengalami perkembangan yaitu bahasa tulisan yang bisa di dokumentasikan. Sebab bahasa tidak sekedar alat urutan bunyi yang dapat dicerna secara empiris tetapi juga kaya dengan makna yang sifatnya non empiris. Oleh sebab itu, lumrah bila kini kita mengenal bahasa tulisan yang salah satunya diproduksi oleh media cetak.

Kemudian dalam buku ini disebutkan juga “Representasi Makna Media”. Kata representasi menunjuk pada penjelasan orang-orang membantu mendefinisikan kekhasan kelompok-kelompok dan juga merujuk pada penggambaran perbagai institusi. Representasi menunjuk pada pembuatan makna. Makna tentang dunia dan makna tentang cara memahami dunia. Representasi merupakan tindakan untuk menggantikan sesuatu yang bisa terjadi atau tidak bisa menghadirkannya sendiri. Pengertian representasi nyaris sama dengan pencitraan yaitu proses pembentukan citra melalui proses yang diterima oleh khalayak, baik secara langsung maupun melalui media sosial atau media massa.

Kita menuju kepada Jurnalisme Online. Dalam buku ini, dijelaskan, media mengalami beberapa tahap perubahan transformasi, dan bahkan metamorfosis. Bermula dari surat kabar, buku, film, radio, televisi dan internet. Media massa yang terakhir adalah internet, kemudian mempopulerkan istilah media baru (new media).Kehadiran internet selanjutnya mengubah secara drastis dan dramatis perkembangan media massa. Beberapa karakteristik media/ jurnalisme online, antara lain:

  • Unlimited space (jurnalistik online memungkinkan halaman tak terbatas)
  • Audience control (jurnalistik online memungkinkan pembaca lebih leluasa memilih berita/informasi)
  • Non-lienarty (dalam jurnalistik online masing-masing berita berdiri sendiri)
  • Storage and retrieval (jurnalistik online memungkinkan berita “abadi”, tersimpan, dan bisa diakses kembali dengan mudah)
  • Immediacy (jurnalistik online menjadikan informasi bisa disampaikan secara sangat cepat dan langsung)
  • Multimedia capability (jurnalistik online memungkinkan sajian berita berupa teks, suara, gambar, video, dan komponen lainnya sekaligus.
  • Interactivity (jurnalistik online memungkinkan interaksi langsung antara redaksi dengan pembaca, seperti melalui kolom komentar dan social media sharing)

Selanjutnya adalah “Mitos Jurnalisme sebagai Pilar Keempat Demokrasi”. Mitos secara etimologi adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara. Mitos adalah sesuatu untuk memahami mitos sebagai suatu objek, konsep atau gagasan. Mitos tidak didefinisikan dan diklaim oleh objek pesannya melainkan didefinisikan oleh cara penyampaian pesan. Wicara dalam jenis ini adalah suatu pesan. Dengan demikian hal ini tidak terbatas pada secara lisan. Mitos adalah suatu sistem yang janggal, karena ia dibentuk dari semiologis.

Konglomerasi media di negeri ini sudah sangat lumrah. Harry Tanoesoedibjo (pendiri Partai Perindo) melalui MNC Group, menaungi RCTI, Global TV, MNC, Koran Sindo, Sindonews.com, Okezone.com, dan beberapa tv kabel. Jakob Oetama (dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) melalui Kompas Group, yang menaungi Kompas.com, Kompas TV, Warta Kota, Berita Kota dan sebagainya. Surya Paloh (Ketua Umum Partai Nasdem) memiliki Media Group dengan anak perusahaan surat kabar Media Indonesia, MetroTV, MetroTVnews.com, Lampung Post, dan sebagainya. Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Gokar) mempunyai TVOne, ANTV, Viva.co.id. Chairul Tanjung (dekat dengan Partai Demokrat) membawahi TV7, TransTV, Detik.com, dan lain-lain. Indosiar dan SCTV juga dalam satu grup kepemilikan. Selain konglomerasi medianya, keterlibatan dan afiliasi politik mereka juga yang menjadi persoalan besar bagi pengembangan dan perkembangan demokrasi di Indonesia.

Singkat kata, nyaris semua media memiliki afiliasi, hubungan, dan kepentingan dengan partai politik. Dengan begitu, media di Indonesia tidak independen dan tidak bisa menentukan dirinya sendiri sebagai media. Hal ini karena independensi adalah harga mati bagi sebuah media. Dengan berdiri sendiri ia bisa menentukan kebijakan redaksi dan berita secara mandiri tanpa intervensi kepentingan nonmedia.

Di era modern dengan kapitalisme sebagai urat nadi, media dan politik bertemu dengan faktor bisnis. Dengan tuntutan kapitalisme media berubah menjadi industri, menjadi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Ia bukan lembaga sosial sebagaiman fungsi dasarnya, yakni, menyampaikan berita. Maka lengkaplah penderitaan pers Indonesia ketika media bersinergi dnegan bisnis dan politik. Berita sebagai jantung jurnalisme kehilangan substansinya.

Media hanya bisa menjadi pilar keempat demokrasi jika mengambil jarak dan independen dengan tiga jenis kekuasaan yang terdapat pada lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Keberjarakan dengan politik, ekonomi, dan bisnis serta pemegang kekuasaan akan membuat media berani bersikap kritis. Pers menjadi mitos ketika pers kehilangan makna denotatifnya, yaitu sebagai penyampai informasi dan authormakna bagi khalayak. Pers menjadi mitos ketika ia berada di wilayah konotatif. Pers yang berfungsi sebagai penopang kekuasaan, penghasil bisnis, dan pemuas syahwat politik adalah pers dalam wujud mitos. Ia bukan lagi sebagai pilar keempat demokrasi tetapi pers sebagai penghancur demokrasi.

Buku ini memaparkan beberapa kasus pemberitaan yang merujuk kepada jurnalisme sebagai mitos. Beberapa contoh beritanya :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun