Mohon tunggu...
Ogie Urvil
Ogie Urvil Mohon Tunggu... Wiraswasta - CreativePreneur, Lecturer

Orang biasa yang banyak keponya

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tsundoku

17 Januari 2024   09:30 Diperbarui: 17 Januari 2024   09:43 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama saya beranggapan, bahwa membeli buku merupakan sebuah investasi. Jadi, seringkali selalu ada 'ruang' di dompet untuk dijadikan budget beli buku. Budget cicilan, belanja bulanan, bayar SPP dan listrik, seringkali mengalami kekalahan dan memberi jalan bagi duit yang akan lewat untuk membeli buku.

Namun, membeli buku dan bersedia menyempatkan waktu untuk membacanya adalah dua persoalan yang berbeda. Saya termasuk orang yang punya masalah, atau 'gap' antara jumlah buku yang dibeli, dengan jumlah waktu membacanya. Pendek kata, saya merasa, antrian buku yang mesti saya baca jadi terus bertambah panjang.

Untuk hal ini, di dalam bahasa jepang ada isitlah "Tsundoku". Menurut Prof. Andrew Gerstle dari University of London, kata 'doku' bisa digunakan sebagai kata kerja yang artinya membaca. Dan kata 'tsun' di dalam 'tsundoku' asalnya dari kata 'tsumu', yang artinya menumpuk. Bila digabungkan, 'tsundoku' bermakna membeli materi-materi bacaan, dan kemudian menumpuknya.

Ternyata istilah ini sudah ada sejak sekitar tahun 1879. Dan sepertinya merupakan istilah satir, untuk guru-guru yang punya banyak buku, namun tidak lantas membaca buku-buku tersebut. Menurut Prof. Gerstle juga, meski kata tersebut rasa-rasanya ada unsur hinaan, namun tidak ada 'stigma' apapun atas istilah itu di Jepangnya sendiri.

Melihat rak buku saya yang semakin penuh, belum lagi 'koleksi' e-book yang size folder file-nya sampai bergiga-giga, tapi yang dibaca baru bermega-mega, saya jadi merasa masuk ke kategori "tsundoku" itu. Dan setelah baca-baca lagi, ternyata menumpuk buku melebihi kemampuan waktu kita untuk membacanya bukanlah hal yang sepenuhnya buruk.

Satu rak penuh buku yang belum kita baca menunjukkan seberapa banyak yang kita belum tahu. Semakin banyak rak yang seperti itu, semakin sadar bahwa semua yang sudah kita ketahui masih belum ada apa-apanya. Atau mungkin belum tentu semuanya itu benar, karena ilmu bisa ter-update toh ? Rak yang penuh dengan ide yang belum ter-eksplorasi bisa mendorong seseorang untuk terus membaca, belajar, dan merasa nggak nyaman atas apa-apa yang sudah diketahui.

Ada yang menyebut ini sebagai bentuk kerendah-hatian intelektual / Intellectual humility. Mengelilingi diri dengan banyak buku (meski belum dibaca) menjauhi seseorang dari rasa sok tahu, over confident, dan sok paling benar ataupun pintar sendiri. Tidak heran, ada juga yang menyebutkan bahwa 'Tsundoku' bisa menjadi 'counter' dari Dunning Kruger Effect atau ilusi kompetensi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun