Pendahuluan
Salah satu tokoh yang melanjutkan pemikiran empirisme setelah Thomas Hobbes ialah Jhon Locke (1632-1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan.Â
Menurutnya, yang penting bukan memberi pandangan metafisis tentang tabiat roh dan benda, melainkan menguraikan cara manusia mengenal. Oleh karena itu, ia adalah pemberi dasar ajaran tentang idea-idea dan kritik pengenalan.[1]
Riwayat Hidup
Â
John Locke lahir dekat Bristol, Inggris pada tahun 1632. Ia belajar ilmu alam dan kedokteran. Ia juga membaca tulisan-tulisan Descartes dan merasa sangat tertarik pada filsafatnya. Selain sebagai pengarang, dokter dan dosen pribadi, Locke juga seorang diplomat yang mengunjungi banyak negara.[2] Salah satu bukunya tentang ketatanegaraan ialah The Scond Treatise on Government (Dua karangan tentang pemerintahan). Di dalam buku itu, berbeda dari Hobbes yang memihak absolutisme, Locke menjadi juru bicara liberalisme. Ia meninggal di Oates, Inggris pada tahun 1704. [3]
Isi Pemikiran: Politik
Dalam bukunya, The Scond Treatise on Government yang berbeda dari Hobbes, Locke berpendapat keadaan asali manusia bukanlah sebagai keadaan perang, melainkan sebagai sebuah firdaus.Â
Dalam keadaan asali itu manusia hidup bermasyarakat dengan diatur oleh hukum-hukum kodrat dan masing-masing individu memiliki hak-hak yang tak boleh dirampas darinya.[4] Akan tetapi, keadaan alamiah itu belumlah sempurna karena masih ada orang-orang yang tidak mematuhi hukum alam itu dan hukum alam itu memang hanya secara terbatas memberi hak kepada orang untuk bertindak terhadap kejahatan.Â
Pada masa ini, setiap orang menjadi hakim atas dirinya sendiri; setiap individu adalah hukum bagi dirinya sendiri dalam membela dirinya.[5]Â
Melihat kenyataan yang demikian, Locke berpendapat bahwa individu-individu mengadakan kontrak sosial agar stabilitas dalam masyarakat dapat tetap terjaga.Â
Lewat kontrak sosial itu dihasilkan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif yang dibatasi oleh hukum-hukum dasar tertentu. Hukum-hukum itu melarang pemerintah merampas hak-hak individu. Pemerintah diperlukan untuk menjamin keamanan seluruh masyarakat. Fungsi pokok pemerintah ialah menajaga milik pribadi setiap individu.Â
Agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak menjadi tirani, maka kekuasaan eksekutif (kekusaan yang melakukan pemerintahan) harus dipisahkan dari kekuasaan legislatif (kekuasaan yang member undang-undang) dan federatif (kekuasaan yang memutuskan perang dan damai).[6] Dengan demikian, Locke menolak bentuk pemerintahan abosolut seperti yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes. Pemikiran inilah yang menjadi dasar dan cikal bakal pembagian kekuasaan politik atas tiga unsur.Â
Pembagian ini telah disempurnakan filsuf Perancis Montesquieu, menjadi trias politica, suatu keseimbangan kekuasaan yang telah membuktikan efektivitasnya: pemerintah, parlemen, dan kehakiman. Bila ketiga bidang ini dipisahkan, maka demokrasi betul-betul terjamin sehingga diktatur maupun anarki dapat dihindarkan
Â
 Â
[1] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.
[2] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 19.
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzshe (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 75.
[4] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzshe (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 81.
[5] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat ..., hlm. 38.
[6] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: ..., hlm. 81.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H