Dari sejak dulu para warga memang telah menanti-nanti kapan kau akan menyalonkan diri untuk menjadi kepala desa. Hal ini dikarenakan dari mulai sejak kecil kau telah dikenal para warga sebagai orang yang jujur, berintegritas dan cerdas. Kakek pernah bercerita bahwa kau pernah dimusuhi seluruh teman sekolahmu karena kau menolak untuk menerima kunci jawaban dari sekolah ketika Ujian Nasional diselenggarakan.
"Kita belajar untuk kehidupan bukan untuk seonggok angka!" ucapmu lantang dihadapan para murid dan guru. Lanjutmu, "Wajar saja negri ini khususnya kampung ini tak pernah maju-maju karena pendidikannya telah dirasuki pemalsuan dan pembodohan. Jadi jangan heran bila banyak pemimipin negri ini masih bermental korup karena sudah dididik sedini mungkin!"Â Kata-katamu bak mata petir yang menyambar di siang bolong. Semua guru dan murid tertunduk lesu dan malu. Sebenarnya dari lubuk hati terdalam mereka sependapat denganmu akan tetapi tradisi tetaplah tradisi! Praktik pembagian kunci-kunci jawaban tetap saja dijalankan. Kau ibarat nabi yang berseru-seru di padang gurun tapi sayang tak ada yang mendengarkan.
Mulai sejak itulah kau dijuluki manusia kebenaran. Aku tidak tahu persis apakah itu sebuah sanjungan atau hinaan. Mungkin kedua-duanya, tergantung siapa yang memandang. Walaupun dijauhi dan dibenci karena prinsip hidupmu yang terlalu idealis, kau tetap saja menghidupinya dengan sepenuh hati.
Kau juga dikenal sebagai manusia si pengungkap kebenaran sekaligus pengungkap kebusukan terkait sistem perpolitikan di kampung ini. Jadi, wajar saja apabila kau memiliki banyak sekali pengagum rahasia termasuk aku di dalamnya. Akan tetapi secara bersamaan, banyak juga penduduk yang diam-diam bahkan terang-terangan membencimu bahkan siap melenyapkanmu karena merasa dirugikan.
Sejauh ingatanku mengingat, kau punya moto hidup yang sulit untuk kulakoni dan juga kebanyakan orang saat ini yakni, lebih baik mati berbuat kebaikan daripada hidup berbuat kezaliman. Dan motto ini juga yang kau gunakan ketika berkampanye dalam kancah pemilihan kepala desa. Seandainya semua warga telah sampai pada cara berpikirmu ini, aku yakin kampung ini akan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Jangankan kampung ini negara ini juga akan menjadi negara maju. Tapi kenyataanya kebanyakan orang masih memikirkan kepentingan perut masing-masing.
Kata-katamu dalam berpidato juga menyentil kebanyakan warga khususnya para aparat pemerintahan yang memerintah selama ini. Kau berkata, "Bapak-ibu sekalian, saya pernah dengar sebuah cerita bahwa dulu ada ladang yang begitu subur dan berjuta-juta hektar luasnya. Akan tetapi hasil panenanya sangat sedikit tidak sebanding dengan kesuburan dan luasnya lahan. Bapak-ibu tahu enggak kenapa ladang yang subur nan luas itu menghasilkan panenan yang sangat sedikit?" Semua terdiam dan geleng-geleng kepala.
Kau pun melanjutkan, "Itu semua karena pagarnya. Pa-gar-nya..., pagarnyalah penyebabnya Bapak-ibu. Ternyata pagarnya makan tanaman!" Mendengar itu mereka sontak tertawa dan bertepung tangan. Suasananya sungguh riuh sekali. Saya yang ikut hadir dalam moment bersejarah itu pun ikut tersenyum dan rasa kagumku terhadapmu semakin mendalam. Akan tetapi saat bersaaman secara sekilas saya memandang Pak Ando yang juga ikut hadir saat itu. Matanya nanar menatapmu, sepertinya ia merasa terhina karena kau pojokkan seperti itu. Ia telah menjabat sebagai kepala desa selama tiga puluh tahun dan kini ia  ingin menyalonkan diri lagi. Belum puaskah ia menikmati tanaman yang ia makan selama ini, pikirku.
Semua penduduk tahu bahwa yang kau maksudkan pagar makan tanaman itu ialah Pak Ando berserta antek-anteknya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintahan Pak Ando selama ini penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Hanya saja tidak ada satu pun yang punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya secara terang-terangan. Hal ini dikarenakan Pak Ando sungguh orang yang paling ditakuti di kampung ini.
Pak Ando punya kuasa dan uang yang dapat menutup semua mulut yang hendak menyuarakan kebenaran dan juga membeli suara warga penduduk setiap kali pemilu diselenggarakan. Inilah yang membuat tidak ada orang yang mau bersaing dengan Pak Ando dalam pemilihan kepala desa. Mereka sudah merasa kalah sebelum bertempur. Akan tetapi tahun ini tidaklah seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini adalah tahun yang bersejarah karena ada juga akhirnya orang yang berani menyalonkan diri menjadi kepala desa selain Pak Ando. Dan pria itu adalah kau. Kau bagaikan mesias yang telah lama dinanti-nanti.
Pemilihan pun dilangsungkan dan dengan was-was aku menyaksikan satu per satu orang yang memasuki posko pemilihan. Aku berharap dan berdoa agar para warga mampu memilih pemimpin yang dapat mengubah kampung kolot ini menjadi kampung yang modern. Ketika perhitungan suara dilakukan aku pun ikut menjadi pengawas relawan, mewaspadai jikalau ada kecurangan dalam perhitungan suara. Setelah semua suara selesai dihitung, semua warga bertepuk kegirangan karena yang memperoleh suara terbanyak ialah Budi Hartanto buka Ando Martoto. Dengan kemenangan ini, saya yakin desa ini telah berada pada gerbang modernisasi.
Keyakinan itu pun terjawab sehari setelah pelantikanmu, proyek yang kau janjikan yakni membuat saluran pipa  dengan segera dikerjakan. Setelah proyek ini berhasil kau pun melanjutkan dengan merenovasi semua sekolah-sekolah yang ada mulai dari SD, SMP hingga SMA. Tidak hanya itu saja, kau juga membangun puskesmas, perbaikan jalan dan pelbagai sarana dibuat untuk menunjung kebutuhan para warga. Tidak terasa lima tahun sudah kau mengabdi pada kampung ini.