Kemiskinan, anak putus sekolah, biaya hidup yang melambung tinggi dan pengangguran adalah potret kelam kehidupan rakyat di Indonesia. Pemandangan seperti ini seakan lumrah bagi bangsa yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa. Walau pun pemerintah berdalih bahwa ditahun 2011 saja mereka dapat menurunkan angka kemiskinan namun realitanya masih banyak penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Itu artinya, rezim dua dekade ini belum memperlihatkan taring tajamnya atau mungkin memang hanya taring ini yang dimilikinya. Berita yang dirilis oleh Solo Pos.com (27/02/2012) memaparkan bahwa Angka kemiskinan turun sekitar 12,49 persen pada Maret 2011 dan berkurang 0,13% menjadi 12,3% bulan Desember tahun yang sama.
Realitas yang sedang dialami rakyat ini merupakan beberapa dampak dari praktik korupsi yang merajalela di tanah air. Anggaran negara yang seharusnyan dialokasikan untuk kemakmuran rakyat justru habis dikeruk oleh para koruptor. Akibatnya Pemerintahpun berupaya untuk menaikkan pendapatan negara dan salah satunya adalah kenaikan bahan bakar minyak. Walau berlabel memberikan subsidi bagi rakyat miskin tetapi kenyataanya rakyat miskin tetap menjadi obyek pemerasan. Bagaimana tidak menambah sengsara jikalau kenaikan harga bahan bakar minyak diikuti kenaikan harga kebutuhan pokok. Meski sedikit berbeda dengan kebijakan kenaikan harga BBM sebelumnya, kali ini SBY sudah berani membatalkan kenikan. Kalau tak mau dikatakan takut adanya demo besar-besaran.
Sikap para elit politik yang seakan tidak perduli terhadap wong cilik tercermin dari beberapa kegiatan yang baru-baru ini mereka laksanakan. Kegiatan yang terkesan berfoya-foya ini seperti menjadi agenda wajib tahunan. Salah satunya adalah kegiatan studi banding ke Jerman yang dilakukan oleh anggota DPR. Kegiatan yang menelan sekitar 1 milyar rupiah ini mendapat tentangan dari pelajar-pelajar Indonesia di Jerman. Yang membuat agak tergelitik adalah justru para wakil rakyat merasa tidak mendapat keadilan karena tidak diberi waktu untuk menjelaskan kunjungan mereka kepada para pelajar disana. Mungkin memang para jutawan dari DPR itu sudah mati rasa dengan pesan yang disampaikan pemuda bangsa.
Sebelum agenda lawatan yang menelan banyak uang rakyat, kita telah dikagetkan dengan pembangunan dan pengadaan fasilitas super mewah diruanng anggota banggar. Renovasi ruang yang beraroma anyir ini menyeret nama mantan aktivis besar ’98 yaitu Pius Lustralanang . Tak hanya sampai disitu, kita tengok saja kasus wisma atlet yang sampai saat ini terus bergulir. Angelina Sondakh seorang mantan putri Indonesia kini di tetapkan menjadi tersangka kasus tersebut. Belum lagi kasus-kasus korupsi yang hanya menguap tanpa penyelesaian menambah daftar panjang kasus korupsi di negeri ini.
Pendidikan Mandul
Disadari atau tidak pendidikan memegang peranan penting dalam mempengaruhi angka korupsi khususnya di lembaga pendidikan. Tak dapat dipungkiri, lembaga ini lebih sering bersinggungan dengan anak didik sehingga elemen-elemen didalamnya diharapkan mampu membangun karakter penerus bangsa. Dimulai dari pendidikan agama yang menanamkan akhlak dan moral hingga adanya pendidikan kewarganegaraan.
Program terbaru pemerintah yaitu pendidikan anti korupsi yang rencananya akan diberikan di perguruan tinggi pun seakan menjadi amunisi baru untuk mematikan laju korupsi di negeri ini. Entah ini merupakan bentuk keprihatinan atau formalitas belaka namun nampaknya program ini bertujuan memberikan pengetahuan anti korupsi bagi mahasiswa. Setidaknya ada semangat untuk mengubah budaya buruk yang telah tertanam.
Mengutip dari Alatas (1983) yang mengatakan bahwa korupsi dapat terjadi akibat kurangnya pendidikan mungkin saat ini dapat dipatahkan. Pasalnya justru orang-orang yang terlibat korupsi adalah mereka yang berpendidikan. Angelina Sondakh, Gayus Tambunan, hingga Pius adalah sederet nama dengan pendidika yang tidak rendah. Namun, merekamenjadi raksasa yang terus menggilas rakyat tak berdaya dinegara ini. Jadi, apakah dengan pendidikan korupsi dapat sirna? Atau justru lewat pendidikanlah kita belajar bertindak korup?
Hukum Semakin Tumpul
Sudah menjadi rahasia umum jika para penguasa atau elit politik itu seakan kebal hukum. Bagaimana tidak, jika hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada mereka saja lebih rendah dari akibat yang ditimbulkanya. Sebagai contoh adalah seorang nenek yang mencuri 3 buah kakao diseret dan diadili hingga kemeja hijau. Namun tidak pada koruptor yang leluasa memakan uang rakyat.
Pada dasarnya hukum itu diciptakan untuk membuat jera para pelaku. Jika dikaitkan dengan maraknya kasus korupsi, diharapkan dengan hukum yang dimiliki para pelaku korupsi merasa jera dan tidak akan mengulangi tindakannya. Sayangnya hukum yang ada tidak seperti teori di buku. Hukum di Indonesia seakan masih memihak kepada segeintir orang. Jika kenyataanya demikian, apakah hukum bisa menjadi alat pemberantasan korupsi? Atau justru malah menjadi alat melanggengkan korupsi?
Agama pun Tak Mampu
Dekadensi moral, mungkin demikian yang sedang terjadi. Di Indonesia sendiri yang merupakan negara berketuhanan justru menjadikan korupsi tumbuh subur didalamnya. Dapat dikatakan orang yang sekarang masih memegang agamanya tidak lebih banyak dari yang meninggalkannya. Contoh nyatanya adalah kasus korupsi di Departemen Agama. Salah satu sumber menuliskan bahwa korupsi di sana mencapai angka 58 Triliun. Lebih ironisnya lagi Depag menduduki peringkat pertama dari Departemen terkorup.
Dari yang kita bayangkan bahwa Departemen Agama sangat kental dengan nuansa religius, namun faktanya institusi ini tidak dapat menjadi tauladan bagi institusi pemerintah yang lain. Lantas mampukah agama membendung arus korupsi?
Tak Ada Negara
Memang tak mudah menghilangkan budaya yang telah lama mengakar. Korupsi yang seakan telah mendarah daginng memang sulit untuk dipotong mata rantainya. Dilihat dari berbagai aspek, korupsi memberikan dampak yang begitu luas disemua lini kehidupan. Yang perlu di cermati korupsi sendiri terjadi karena adanya kesempatan. Contoh saja Pius Lustralanang, di jaman rezim Soeharto ia sangat aktif membela demokrasi. Dia sangat akrab dengan dunia aktivis dan menjadi tonggak perlawanan kala itu. Namun ketika sekarang ia telah duduk dikursi DPR, idealis pemikiranya serasa hilang. Pius dituding terlibat kasus renovasi ruang banggar anggota DPR.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah jika semua berkesempatan menjadi pejabat berarti semuanya juga berpeluang untuk korupsi? Jika diruntut dari banyaknya kasus yang terjadi mungkin saja semuanya akan bertindak korup ketika adanya kekuasaan ditangan. Mereka akan cenderung memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Jika sampai sekarang hal ini terus terjadi, akan lebih baik negara ini ditiadakan. Ketika pemerintah sibuk mengurusi perutnya sendiri tanpa memperdulikan rakyat berarti fungsi pemerintah disini telah hilang. Apa bedanya dengan negara ini tak ada pemerintahan sehingga semua berjalan dengan alamiah. Dengan tidak adanya pemerintah maka tak ada orang yang mempunyai kesempatan untuk korupsi. Intinya semua tinggal menunggu kesempatan itu ada. Mengutip dari salah satu perkataan dosen bahwa mungkin saja kita yang sekarang ini getol menentang korupsi justru akan kembali menjilat ludah ketika kesempatan korupsi itu didepan mata.
OFTIANA IRAYANTI WARDANI
MAHASISWA TADRIS KIMIA 2011
Lomba artikel BEM dalam rangka bulan pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H