Penerapan ambang batas agar kontestan memiliki estimasi dukungan DPR maka ini bentuk inkonsistensi MK untuk mengawal sistem presidensial yang telah diatur UUD 1945. Pemerintahan yang sangat tergantung pada DPR akan menciptakan politik saling sandera yang mengarah pada sistem parlementer seperti pernah dialami masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan saat ini Presiden Joko Widodo.
Cita-cita untuk menerapkan sistem presidensialisme murni tidak mungkin diterapkan di saat Indonesia menganut sistem kepartaian yang multipartai. Melihat pertimbangan MK tersebut, menjadi bias, presidensialisme seperti apa yang diinginkan MK? Sementara dalam putusannya mendorong adanya estimasi dukungan saat pencalonan presiden dan wakil presiden.
Ketergantungan pencalonan presiden dan wakil presiden kepada partai malah akan mendorong terjadinya sistem presidensialisme ditengah sistem multipartai yang berakhir dengan presidensialisme setengah hati.
Ketiga, Penyederhanaan partai politik. Pembentukan koalisi mengusung calon presiden dan wakil presiden seringkali dihadapkan pada koalisi transaksional jabatan di pemerintahan. Koalisi jangka panjang yang diharapkan  menuju pada sebuah bentuk penyederhanaan partai politik secara alamiah sulit terjadi dengan kembali diberlakukannya ambang batas ini.
Ketiadaan suara mayoritas pada sistem multipartai memaksa partai-partai melakukan koalisi di pemerintahan dan parlemen. Koalisi ini berujung pada ketergantungan antar partai maupun ketergantungan pemerintah pada perlemen. Koalisi seperti ini tidak akan melahirkan koalisi jangka panjang menuju pada penyederhanaan partai politik. Jika ini terjadi maka penyederhanaan partai politik sulit terjadi.
Tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan bilamana presiden tidak didukung oleh mayoritas suara di DPR maka akan dengan mudah terjadi pemakzulan. Kalaupun di dalam melaksanakan pemerintahannya presiden mengalami kekurangan dukungan partai, kemungkinan terburuk langkah pemakzulan tidak akan terjadi selama presiden tidak melakukan pelanggaran yang secara limitatif ditentukan dalam konstitusi.
Kebaruan hasil pemilu
Penerapan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pada pemilu sebelumnya bertolak belakang dari regenerasi kepemimpinan nasional. Menggunakan syarat ambang batas dari pemilu sebelumnya sama dengan meniadakan kebaruan dari hasil pemilu.
Contoh yang sangat tampak ialah bagaimana jika diantara partai politik tahun 2014 tidak lolos parliamentary threshold pada pemilu 2019? Sedangkan suara partai tersebut pada pencalonan presiden dan wakil presiden digunakan pada pilpres 2019.
Lalu bagaimana dengan partai-partai baru seperti PSI, Perindo, Partai Garuda, Partai Berkarya, dan PBB yang 'belum' dapat menjadi bagian dari ambang batas ini. Padahal selama lima tahun pemerintahan yang dihasilkan dari Pemilu 2019 kelima partai baru ini pun -- jika lolos parliamentary threshold -- turut serta melaksanakan pengawasan terhadap pemerintah.
Sifat kebaruan hasil pemilu ini yang luput dari pandangan DPR dan MK. Terjadi perubahan partai politik peserta pemilu namun UU tidak menganggap ini sebagai sebuah hal yang penting. Seberapapun suara yang didapatkan dari partai baru ini, harus dianggap sebagai sebuah pilihan rakyat dalam menyampaikan pilihan politiknya. Hal ini luput dari perhatian DPR sebagai positive legislature, namun ketidakhati-hatian ini pun juga terlihat dari putusan MK sebagai lembaga negative legislature untuk mengawal dan menjaga konstitusi.