Hak untuk memilih dan dipilih merupakan hak asasi yang dijamin Konstitusi. Pengakuan ini memberi ruang bagi rakyat bahwa rakyat sama kedudukannya dalam politik dan pemerintahan. Di sisi lain, pengakuan ini mengokohkan bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam membentuk pemerintahan itu.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Secara filosofis, makna dari pasal ini rakyatlah yang berdaulat terhadap negara, dan secara yuridis kedaulatan itu dilaksanakan secara perwakilan melalui para wakil rakyat yaitu DPR serta DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota.
Kedaulatan yang melekat pada rakyat tidak muncul secara tiba-tiba melainkan karena rakyatlah sebagai pemilik negara. Sekaligus rakyat sebagai pemilik semua kewenangan untuk menjalankan fungsi kekuasaan negara itu, baik kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena dengan suara rakyatlah kekuasaan itu memiliki legitimasi yang sah secara hukum dan pemerintahan.
Namun, hak yang melekat pada rakyat itu bukan tanpa konsekwensi. Dalam kaidah umum, menjalankan suatu hak akan menimbulkan suatu tanggung jawab. Begitu pula dengan hak politik yang dimiliki rakyat, hak di satu sisi menimbulkan tanggung jawab pada sisi yang lain. Sehingga, hak rakyat untuk memilih dan dipilih yang dijamin Konstitusi secara moral memiliki konsekwensi dalam penggunaannya.
Hak memilih dan dipilih
Pasca reformasi bergulir banyak tuntutan untuk memperluas hak rakyat untuk memilih dan dipilih. Imbas dari tuntutan ini digulirkannya sistem pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota.
Sangat jauh berbeda sebelum amandemen dimana pemilihan dilakukan secara tidak langsung. Pada periode ini, sistem pemilihan melalui lembaga perwakilan seperti MPR untuk Presiden dan Wakil Presiden serta oleh DPRD untuk Gubernur, Bupati/Walikota.
Perubahan fundamental ini disuarakan karena ketidakpuasan rakyat terhadap hasil dari pemilihan tidak langsung tersebut. Pemilu dianggap hanya mementingkan kepentingan segelintir elit dan mengabaikan kepentingan rakyat yang lebih besar.
Jabatan publik yang dipilih secara langsung yang diamanahkan UUD 1945 yaitu (1) Presiden dan Wakil Presiden, (2) Anggota DPR RI, (3) Anggota DPD RI, (4) Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota. Selain memilih jabatan posisi tersebut, UUD 1945 mengamanahkan Gubernur, Bupati, Walikota dipilih secara demokratis yang kemudian UU menerjemahkan kata demokratis tersebut dengan pemilihan langsung.
Pemilihan secara langsung oleh rakyat dianggap lebih meningkatkan kualitas partisipasi serta kedaulatan rakyat di satu pihak dan keterwakilan (representativeness) elit di pihak lain, karena demikian dapat menentukan sendiri siapa yang dianggap pantas dan layak yang akan menjadi pemimpinnya.
Kondisi ini sangat berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang menyatakan kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Pergeseran perubahan pelaksana kedaulatan ini membawa dampak ketatanegaraan dimana MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. MPR menjadi lembaga negara yang secara hierarki sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK.