Mohon tunggu...
Ofis Ricardo
Ofis Ricardo Mohon Tunggu... Pengacara - Pengajar Hukum Tata Negara; Advokat - Kurator kepailitan

Pengajar Hukum Tata Negara; Advokat - Kurator kepailitan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perda dan Representasi Suara Rakyat

19 Juni 2016   10:12 Diperbarui: 19 Juni 2016   10:24 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo mencabut 3.143 Perda yang diduga kontroversial. Pemicunya ialah pemaksaan aparat Satpol PP menutup sebuah warung makan di Kota Serang, Banten. Dasar hukum tindakan Satpol PP ini ialah Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulan Penyakit Masyarakat (Perda 2/2010) dimana salah satu pasalnya melarang pengusaha restoran (warung makan) berjualan pada siang hari selama bulan Ramadhan.

Langkah kontroversial Jokowi ini pun sontak mendapat pendapat beragam kalangan umat Islam. Pemerintah dianggap gegabah dalam mencabut perda-perda tersebut tanpa melakukan kajian dan riset mendalam. Pencabutan perda-perda tersebut begitu cepat dibandingkan pembuatan Perda itu sendiri yang dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan.

Dasar pencabutan Perda 2/2010 pun sangat sumir. Alasan pencabutan Perda hanya didasarkan pada tindakan razia aparat Satpol PP terhadap pengusaha rumah makan yang tetap buka siang hari di bulan Ramadhan.

Pemerintah sangat memaksakan menjadikan alasan ini untuk mencabut Perda lainnya yang sama sekali tidak berkaitan dengan permasalahan inti razia warung makan. Bahkan hampir semua Perda tersebut tidak terkait langsung dengan larangan menjual makanan di bulan Ramadhan.

Aspek sosiologis Perda

Keberlakuan hukum tidak terlepas dari pengaruh aspek sosiologis masyarakat setempat seperti agama, suku, budaya serta adat istiadat. Sebuah peraturan dapat efektif diterapkan di suatu daerah, namun dapat tidak efektif bila diterapkan di daerah lain. Menurut Satjipto Raharjo penggunaan hukum oleh masyarakat merupakan wilayah sosiologis di mana masyarakat memberi pemaknaan sendiri terhadap hukum dan itulah yang mereka jalankan.

Dalam kutipan Satjipto Raharjo yang sangat populer mengatakan “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Kutipan ini dapat dimaknai keberlakukan sebuah norma hukum didasarkan pada kondisi sosiologis dari masyarakat dimana hukum itu diberlakukan.

Kondisi sosiologis menjadi penting untuk diperhatikan untuk mengukur efektifitas keberlakuan suatu norma hukum dalam masyarakat. Masyarakatlah yang akan menggunakan hukum tersebut, sehingga menjadikan aspek sosial masyarakat menjadi hal yang tak dapat dipisahkan dengan hukum itu sendiri.

Sifat keberlakuan sebuah peraturan perundangan-undangan memiliki sifat lokalistik. keberlakuan sebuah peraturan perundang-undangan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup peraturan tersebut. Sesuai dengan teori Piramida Terbalik dari Hans Kelsel mengatakan norma hukum yang paling rendah keberlakuan nya pada lingkup yang lebih kecil, dan norma hukum yang lebih tinggi keberlakuannya pada lingkup yang lebih luas.

Pemberlakuan Perda 2/2010 hanya berlaku di Kota Serang, sifat lokalistik pemberlakuan Perda 2/2010 seharusnya tidak mempengaruhi keberlakukan Perda di daerah lain yang secara wilayah administrasi berbeda dengan Kota Serang. Namun pada kenyataannya perda-perda tersebut tetap dicabut oleh pemerintah dengan bersandar pada tindakan Satpol PP yang merazia warung makan di Kota Serang. Padahal perda-perda tersebut tersebar hampir di tiap Provinsi di Indonesia yang sama sekali tidak terkait dengan wilayah administrasi Kota Serang.

Representasi suara rakyat

Dalam sistem hukum Indonesia, Perda disusun secara bersama-sama antara DPRD dengan Bupati/Walikota, dan Gubernur. Kolaborasi antara Kepala Daerah dan DPRD ini membuat proses checks and balances dapat terjadi sehingga tidak ada satupun diantara keduanya memiliki kekuasaan absolut. Hal ini berdampak pada kebijakan yang dihasilkan Kepala Daerah dan DPRD untuk tidak sewenang-wenang dalam menjalankan fungsinya.

Walaupun Kepala Daerah dan DPRD sebagai pemerintahan daerah, secara teoretis rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi. Rakyat berhak untuk menentukan apa yang dijalankan negara, termasuk dalam menentukan hukum untuk mengatur dirinya. Dalam lingkup, Kabupaten/Kota, Provinsi, masyarakat melalui DPRD berhak dan berwenang menentukan hukum yang digunakan dalam mengatur kehidupannya.

Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 dinyatakan bahwa Perda merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD pada Kabupaten/Kota, Provinsi dengan persetujuan bersama Bupati, Walikota, dan Gubernur. Keberadaan Perda tidak muncul sendiri, namun Perda lahir atas kesepakatan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah untuk mengatur kesatuan masyarakat yang hidup di daerah tersebut.

Bahkan UU nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 316 ayat (1) dan (2) serta Pasal 365 ayat (1) dan (2) menyatakan fungsi legislasi Kabupaten/Kota dan Provinsi dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di Kabupaten/Kota dan Provinsi. Pasal ini memberikan penegasan fungsi legislasi yang dilakukan oleh DPRD merupakan bagian dari representasi rakyat pada suatu Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Oleh karena itu, kerjasama antara DPRD dan Kepala Daerah dalam membuat Perda sebagai penanda bahwa Perda lahir dari pelibatan rakyat didalamnya dimana rakyat diwakili oleh DPRD. Perda di suatu daerah merupakan representasi dari rakyat ataupun sebaliknya bila DPRD menolak mengesahkan suatu Perda maka itupun bermakna Perda tersebut tidak merepresentasikan rakyat.

Lahirnya Perda haruslah dianggap sebagai kesadaran rakyat untuk mengingkatkan diri dalam sebuah Perda selama tidak bertentangan dengan norma, kesusilaan dan kearifan lokal yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

Menjadi sangat tidak lazim apabila DPRD yang dipilih oleh rakyat yang kemudian menghasilan Perda lalu tanpa pertimbangan yang jelas mencabut sebuah Perda tanpa kajian yang mendalam. Segala bentuk produk perundang-undangan yang lahir di suatu daerah haruslah dianggap sebagai keinginan masyarakat daerah tersebut. Terlebih dalam era otonomi daerah saat ini daerah memiliki kebebasan dalam mengeksplorasi potensinya yang berdasarkan pada adat, budaya, serta kearifan lokal masyarakat setempat.

Oleh karenanya, dalam mengevaluasi penerapan suatu Perda harus dibatasi pada ruang lingkup Perda tersebut dibuat. Perda 2/2010 dapat saja diberlakukan di Kota Serang, namun Perda tersebut pasti tidak tepat bila diterapkan di Bali misalnya, yang secara populasi umat Islam adalah minoritas.

Hal ini sejalan dengan teori Receptio in Complexuyang dicetuskan oleh Lodewijk Willem Chirstian Van Den Berg bahwa hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang seharmoni dengan agama yang diimaninya. Karena agama mayoritas di Serang adalah Islam maka menjadi sangat lazim apabila terdapat Perda yang mengatur kehidupan beragama sebagaimana lazimnya penghentian segala aktivitas selama merayakan Nyepi di Bali.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Welfare State Indonesia

_______________________________

Dimuat di Portal Rakyat Merdeka Online www.rmol.co pada tanggal 18 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun