Mohon tunggu...
Sofwan Hidayat
Sofwan Hidayat Mohon Tunggu... -

Nulisnya dikit, Bengongnya Banyak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebangkitan dan Reformasi Bangsa di Mata Efendi Situmorang

26 Mei 2016   15:54 Diperbarui: 26 Mei 2016   16:20 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sosok Efendi Situmorang (dok:Pribadi)"][/caption]

Jakarta tak seterik biasanya saat itu, mentari tak sedang menyengat, berganti dengan mendung menggelayut dengan menitikkan bulir-bulir gerimis, menjadikan jalanan sedikit jauh dari penat. Terik, macet, keringat adalah sebagian wajah jalan Jakarta bisa menjadikan hari yg penat secara paripurna, tandas sudah. Kata temanku, neraka bocor, untuk menggambarkan kepenatan semacam itu. Emang ban kendaraan bisa bocor?

Rintik gerimis kali ini mengganti makna basah oleh keringat, ya basah gerimis, tepatnya tidak basah kuyup, basah yang nyemek-nyemek kecil saja tak sampai bikin basah kebes. Tapi temanku tak mau menyebut kondisi ini neraka yang sudah ditambal alias sudah tidak bocor, apalagi menyebut kondisi ini sebagai angin surga. Angin surga itu angin yang keluar dari mulut harimau, eh, mulut anggota legislatif yang lagi kampanye, itu namanya angin surga, katanya menegaskan. Ah, apasaja katamu kawan. Apa peduliku.

Gerimis ini nyatanya tak jadi lampu merah yang aku tunggu tak selama biasanya, angin lebih sejuk berhembus melewati sela-sela helm dan jaketku. Aku nikmati saja gerimis dijalan ini, sambil mengenang masa kecil yang riang ketika bertemu hujan. Amboi, andai aku bisa kembali kemasa itu. Lampu hijau didepan telah menyala, gas poll saja motorku. Bremmm!!!

Selepas beberapa meter berjalan, motor seperti hilang keseimbangan, ngepot-ngepot tak keruan. Ah, ini gejala ban bocor, pasti. Benar saja, neraka memang sedang tak bocor tapi ban roda belakangku? Bocor! Tentu saja yang tadinya stel gas poll berubah menjadi stel gas kendo, ngelokro,  sambil lambat laun menepi disisi jalan. Entah, konon tangan tuhan mengatur sedemikian rupa terhadap kejadian, kok ya didepan seiring menepinya motor ada kang tambal ban. Alamak, Jakarta yang bersahabat, pucuk dicinta ulam pun tiba pikirku.

Mungkin memang tangan tuhan telah mengatur rentetan kejadian yang mengijinkan aku mendengar monolog Efendi Situmorang, begitu kang tambal ban ini mengaku, lahir di Medan, 58 tahun silam. Menginjakan kaki di Jakarta sejak jaman gubernur Ali Sadikin. Telah menjalani serentetan profesi okupasi diberbagai bidang, mulai dari kernet, supir, pengepul daging babi yang katanya waktu itu 300 perak per kilo hingga jadi buruh angkut yang mengakibatkan jari telunjuk kanannya diamputasi karena ketiban plat besi ketika memasok kebutuhan bahan baku PT. Pindad. 

"Tambal ban pak" begitu saja kalimat yang aku katakan pada beliau untuk menambal ban belakang motor yang bocor. Gerimis kecil masih saja berlangsung dan semakin mengecil rintiknya. Seiring pak Efendi yang ngoprek ban bocor, seperti biasa menunggu adalah waktu yang membosankan, smartphone bisa jadi jalan untuk membunuh waiting time. Menjelajah sosmed, membuka tautan-tautan berita termasuk mengamati artikel kompasiana. Sedang asyik-asyiknya menjelajah lewat smartphone, tiba-tiba.

"Sekarang cari teman susah gak kaya dulu, sekarang orang sibuk sama hendpon, apa-apa lewat henpon" What? Seketika mataku mendelik kaget mencari sumber suara. Mengamati sekitar, cuma ada pak Efendi. Secepat kilat aku paham maksud Pak Efendi, menutup smartphone. Sambil senyum, langsung saja aku lontarkan satu kalimat ke Pak Efendi, Sudah lama pak disini? (Maksudku bertanya sudah berapa lama nambal ban dilokasi itu).

Beliau menjawab tak cuma panjang tapi kali lebar kali lagi dengan tinggi, ruah sudah jawabannya. Ada Ali sadikin, ada uang 20.000 rupiah saja untuk sampai ke Jakarta dari Medan dan lain-lainnya. Oww, timpalku, langsung mengubah muka jadi takjub, wajah polos seolah-olah kagum, pasang muka antusias untuk mengapresiasi sikap keterbukaan dan bersahabatnya. Aku semakin paham pak, lanjutkan, aku akan jadi pendengar yang baik.

Entah kenapa hari itu seolah ocehan pak efendi menjadi narasi monolog, mulai dari opini, deskripsi, protes, keluh-kesah, semuanya. Hanya dengan tetap memasang wajah yg semakin antusias, memainkan raut muka sebagus-bagusnya untuk mengapresiasi, tanpa harus mengerluarkan pertanyaan-pertanyaan, monolognya kian berapi-api penuh semangat. 

Mulai dari masalah narkoba, yang konon telah mengubah seorang tetangganya seperti dead man walking, bahkan beberapa tetangga dan pelajar dilingkungannya gemar mengkonsumsi narkoba yang kemudian dikaitkan dengan buruknya aparat penegak hukum, lha masa aparat yang seharusnya memberantas malah tertangkap jadi bandar narkoba? Begitu dia menjelaskan. Masalah harga beer yang dulu cuma 600 perak, yang dikaitkan dengan harga-harga barang saat ini, sekarang, yang relatif lebih mahal. Sekarang tambah susah, katanya menegaskan.

Katanya pula, apa-apa kita itu impor, sepeda saja sekarang banyak produk Taiwan yang meraja lela, tuh di pasar, yang kemudian jadi pertanyaannya, apa kita ini gak bisa bikin sepeda yang bagus? Aku balas dalam hati, lha pak wong jarum pentul aja kita impor, tak mencoba menyela monolognya. Lanjut ke korupsi, menurutnya, masa menteri agama dipenjara gara-gara korupsi? Apa dia itu gak mikir? Kalau dia itu seharusnya jadi panutan, dia itu mentri agama lho, gimana mau bener Indonesia! Dengan penyampaian berapi-api, mukaku kubentuk serupa mengiyakan ucapannya, tanda setuju sambil terus pasang wajah antusias yang makin intens.

Hingga deskripsi pribadipun mengalir dengan sendirinya, tentang giginya yang masih utuh tak satupun tanggal, tentang kebiasaan minum beer dan merokok yang telah dihentikan sejak tahun 2000, tentang kesehatannya yang prima selepas berhenti minum dan merokok, tentang anaknya yang kini sedang menempuh pendidikan ilmu pertanian di universitas negeri, profesinya yang berganti-ganti sampai cerita peristiwa yang menyebabkan kehilangan satu jarinya. Monolognya menjadi panjang kali lebar kali tinggi, tapi tak membuatku jengah, walaupun aku tak bertanya tentang itu, tapi balasan rupa wajah apresiasiku yang antusias adalah sebuah monolog yang menggebu darinya, aku ikhlas tak memainkan smartphoneku untuk menunggu saat itu. 

Pak Efendi semakin bersemangat, sambil terus mengerjakan masalah yang dihadapinya saat ini, ban bocor. Ketika sedang berapi-api sesekali tangannya bergerak, tanda menjelaskan layaknya dosen yang sedang menjelaskan kepada mahasiswanya, sayang ketika aku jepret dengan kamera, tangannya sudah kembali ke pekerjaan ban bocor lagi, menatap padaku, seraya kubalas tatapan matanya dan raut muka kagum atas penjelasannya, tapi tentu saja tak membawa kita (kita?) sampai pada saling jatuh cinta. 

[caption caption="Bekerja Sambil Bermonolog (dokpri)"]

[/caption]"Kondisi indonesia itu kok ya tambah ruwet saja, saya itu yakin kalo mau baik indonesia ini harus potong satu generasi, udah rusak itu generasi, klo mau jadi baik" Lanjut Efendi Situmorang, memberikan pernyataan. Kali ini aku tersenyum saja, senyum maklum. Pernyataan yang dibuat dari hasil menonton tayangan televisi, tayangan yang kerap berisi bad news, menurutku, yang membuat subconsciousnya sedimikian rupa membentuk pernyataan seperti itu. Atau cuma pernyataan dengan nalar generalisasi saja, macam Situmorang yang lain, Saut Situmorang pada HMI, Florence pada Jogjanya, pun pernyataan Krishna Murti pada polisi Amerika. Ataukah hanya sebuah fenomena Efendi Situmorang yang memenuhi hukum memakan apel busuk?

Apapun itu, itulah wajah Indonesia ala Efendi Sitomurang. Aku tak akan mendebatnya dengan cerita-cerita penuh harapan yang masih ada di negeri ini, tentang Joey Alexander, Rio Haryanto, Tristan Alif, Raeni, Azalea, Muhammad Adam Prabusunu, Jonathan Pradana Mailoa, Alfian Edgar Tjandra. Ah, terlalu banyak. 

Menurutku, dimata Efendi Situmorang tak ada makna Kebangkitan Nasional ataupun Reformasi, rupa indonesia adalah rupa dengan segala masalah yang tak terentaskan, boro-boro bangkit, tengkurep iya, ngelokro, seperti gas motorku selepas lampu merah itu. Reformasi? apanya yang direformasi? Kondisinya malah tambah ruwet, harus potong satu gerenasi kalau mau beres masalahnya.

 Masalah yang berulang muncul di televisi telah menghasilkan pernyataan kebangsaan versi Efendi Situmorang. Ibarat kata, kondisi Indonesia seperti keledai yang lupa pada lubang yang telah membuatnya jatuh, yang akan terus jatuh sepanjang hayat keledai pada lubang yang sama dan hanya akan berhenti jatuh jika hanya jika keledai itu membangkai alias mati. Begitu kira-kira tafsir atas pernyataan kebangsaannya.

Bagiku monolognya lebih berupa complaint terhadap negara, bukan compliment untuk negara, ketidakpuasan, curhatan hati rakyat kecil yang disuguhi tontonan masalah Indonesia di televisi. Tanda ia peduli dan mencintai negeri ini. Rasa peduli dan cintanya kepada negeri terurai dari monolognya, menjadi kritik terhadap masalah bangsa ini yang memang benar adanya, mengejawantah. 

Ya, semoga saja monolognya menjadi pemicu menegakkan kembali makna Hari Kebangkitan Nasional yang digagas Budi Oetomo 108 tahun silam pun gerakan Reformasi 18 tahun silam, tonggak sebuah cita-cita untuk menjadi bangsa yang bermartabat, bangsa yang selalu bangkit ketika terpuruk agar menjadi sebuah bangsa yang besar dan disegani.

 Seperti kata Nelson Mandela, "Bukan seberapa banyak ngelokro yang harus kita khawatirkan tapi seberapa banyak kita gas poll lagi dari kondisi ngelokro". Tangan tuhan telah mengatur angka 108 dan 18 itu, pun kejadian sedemikian rupa hingga aku menjadi pendengar monolog Efendi Situmorang. Berharap tangan tuhan senantiasa membantu membawa Indonesia kepada kejayaan suatu saat nanti.

Ban motor yang bocor sudah ditambal Efendi Situmorang, 20 menit plus dapat bonus monolong. Nahas dompet tak berisi uang kecil, sedikit ragu aku sodorkan saja pembayaran untuk jasa tambal bannya, jangan-jangan tak ada kembalian, hari belum ada setengahnya berjalan pula, pikirku.

 Sekejap ragu hilang berganti dengan persaan lega, Efendi Situmorang mengeluarkan segepok uang kembalian dari dalam kantong celananya, waw isinya banyak ternyata. Andai saja aku tega bertanya begini saat itu "Kalau bapak nambal ban disini sewaktu harga beer 600 perak, kira-kira bapak dalam sehari dapat berapa ya?" Mungkin beliau akan tersenyum, karena jawabannya pasti tak sebanyak uang yang ada dikantongnya sekarang. 

"Terimakasih Pak" Angin sejuk masih berembus sisa rinai gerimis yang telah usai... Gas poll... Bremmm!!!

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun