Mohon tunggu...
Gin Ginanjar
Gin Ginanjar Mohon Tunggu... -

aksaraku

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kesepian

15 Juni 2010   15:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:31 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lazuardi tertutup mendung. Awan malam pantulkan cahaya kemegahan kota ini. Bergantian mengunjungi pelataran panjang, mobil-mobil, sepeda motor. Bising mesin terkadang memberi kesempatan agar gelak penungganya terdengar. Yang lebih sering adalah dentuman irama kesunyian.

Tak seberapa jauh dari tempatnya meringkuk, seorang lagukan serulingnya. Nadanya terdengar sumbang. Kemudian berhenti sebuah mobil dengan berisik irama diskotik, hentikan irama seruling bambu. Hurip berteriak, ''Hoi, teruskan lagunya!''

Ketika matahari datang dengan remang pagi yang khas, mereka berdua memesan kopi di warung roda-tiga yang kabarnya akan diusir penguasa kota dalam lima hari ini. ''semakin susah saja'', keluar gumam gelisah seiring hembusan asap kretek yang keluar dari mulut Hurip.

Mereka tertarik pada peristiwa di seberang jalan. Kemudian bareng-bareng tertawa. ''begitulah...asal dibayar, hilang surat tilangnya...'', kata penjaga warung hentikan tawa mereka. Hurip diam saja menunggu lanjutan cerita si penjual kopi. Tepi teman Hurip yang biasanya menjadi pendengar setia, jadi nyerocos. ''dikampung, aku pernah punya pabrik kayu. Bangsa mereka sering datang, minta jatah. Ongkos keamanan, istilah mereka...bangkrut. Lalu di ajak sodara ke sini. Sempat jualan buah-buahan...dipajaki preman-preman pasar...bosan, jengkel, berhenti juga aku jualan. Memang....''

Hurip manggut-mangut. Sambil nyengir, Ia memecah kebisuan, ''untung ketemu kita, ya, Mang. Keluhanmu tidak seorang, tidak cuma kita. Kita punya banyak teman, sodara.'' Si Mang Warung menimpali pesimis, ''iya, kita bareng-bareng payah….'' Disela-sela tawa mereka, surip sempatkan sok bijaknya, ''payah juga, kan, bareng-bareng, Mang.''

Sebelum hari terik, sebelum mereka bubar, sebelum memuncak kebimbangan, sebelum terbakar kaki dan hati mereka, ''sawahku, dapat warisan, kena gusuran jalan tol yang mau di bangun. Dipaksa! Di sini kesepian karena ingarnya kemewahan. Bareng-bareng juga sepi dari daya...Hhh...'' desah Hurip mengakhiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun