Mohon tunggu...
Gin Ginanjar
Gin Ginanjar Mohon Tunggu... -

aksaraku

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita untuk Angin: Surat Kesekian

23 Mei 2010   18:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:01 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kuhormati, kau, Angin.

Ini suratku yang kesekian. Dan kau dengan sabar memperhatikan. Terimalah ungkapan kasihku lewat tulisan ini. Terimakasih, perhatianmu kusyukuri.

Kini aku sedang seperti biasanya kau saksikan. Kembang yang kusanyang telah mekar. Tanpa purnama pun ia semerbak. Itu berkat keikhlasanmu dalam mengajarinya. Aku pasti itu. Belaian kasihmu membawa pengertian sangat tinggi dan mulia. Hingga dalam tidur pun ia bersamaku.

Mungkin jelas bagimu mengapa aku sangat sayang dan kasih. Ku tegaskan, diamnya itu pesonanya. Ikhlasnya menerima polesan Tuhan itu kharismanya. Aku bertanya kepadanya kini, adakah ia hendak bersolek? Hahaha…mungkin kau pun tak memperhatikannya, angin. Ah…dia, betapa aku sayang dan kasih kepadanya.

Aku masih mengingatnya. Tempo hari kau mengajarinya. “sempurna” seru ku. Dengan muda ia mengerti. Penjelasan yang kau sampaikan sungguh sederhana. Kemudian ia tak pernah beranjak dari tempatnya. Tak bertingkah untuk sekedar meraih perhatian juga. Hm…dan…itulah pesonanya. Ah, angin, betapa aku sayang dan kasih kepadanya dengan sangat.

Angin! Suatu senja aku gelisah. Matahari tak juga syahdu. Entahlah, ia Nampak pongah. Dan kembangku layu saja. Kuperhatikan lekat-lekat wajahnya. Ku ciumi ia. Dan dengan lirih sambil tersenyum “kukabarkan, untuk mu aku senantiasa baik”. Aku ingin menangis sebab terharu. Ada juga khawatir. Gelisahku bertambah. Aku sayang dan kasih kepadanya, angin. Syukurku tiba-tiba, entah kusadari entah tidak, rona bahagia terpancar pada wajahnya. “nampaknya ia memang baik saja” gumamku. Dan aku menangis.

Angin! Kau pun menyangka dan aku iyakan sangkaanmu. Sebab asaku memaksa jujur, betapa aku mencintainya. Aku pun menyangkanya, angin. Dan memang adanya. Diamnya itu pesona dan keikhlasanya menerima polesan Tuhan itu kharismanya. Itu sebabnya, angin, aku sangat sayang dan kasih kepadanya. Tapi, angin, aku mengagumi ia. Kini aku seolah berguru. Kuharap kau pun menyangkanya.

Aku, Sahabatmu, angin yang kuhormati!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun