Beberapa waktu terakhir ini kita menyaksikan adanya kejadian-kejadian yang mengejutkan, dari mulai penyanderaan di Sydney, pembantaian anak-anak sekolah di Pakistan, sampai keramaian lemparan tuduhan seorang dosen kepada sebuah kementerian di negeri ini. Kesamaan seluruh kejadian tersebut adalah semua pelakunya merasa sebagai korban.
Freire pernah menulis bahwa sangat manusiawi dan adalah sebuah keniscayaan dalam sejarah manusia, orang-orang yang tertindas, akan berjuang membebaskan diri dari ketertindasannya. Freire setuju bahwa perjuangan ini tidak bisa diinisiasi oleh pihak penindas, karena bentuknya hanya akan jadi sebuah kemurahan hati yang palsu. Sayangnya, diawal perjuangannya, pihak yang tertindas ini cenderung menjadi mirip seperti penindasnya.
Pada awal-awal karir saya di bidang pendidikan, saya adalah seorang yang digambarkan sebagai penindas oleh Freire. Saya adalah guru yang mengajar ilmu komputer dengan pengetahuan untuk dibagikan kepada para murid saya. Sebagai guru, saya menyampaikan materi ajar seperti sesuatu yang tidak bisa ditawar, kaku, terpisah dari keilmuan lain, dan mudah ditebak (karena ada tercetak di lembaran buku). Dalam situasi seperti ini, pengetahuan itu layaknya sebuah hadiah yang dikaruniakan oleh yang berpengetahuan kepada yang tidak berpengetahuan. Hadir ke dalam kelas dengan kejumawaan dengan keberanian memastikan bahwa orang-orang lain itu tidak berpengetahuan, adalah sebuah ciri dari penindasan.
Dalam kerangka masyarakat tertindas, masa lalu saya itu jelas: Saya mengajar, anak-anak belajar; Saya tahu segala hal, anak-anak tidak tahu apa-apa; Saya berpikir, berpikir tentang para siswa; Saya berbicara, anak-anak mendengarkan; Saya mendisiplinkan, anak-anak didisiplinkan.
Pada tahun-tahun awal saya mengajar itu, saya mendengar tentang pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Pendekatan itu hanyalah jadi sebuah wacana, karena rupanya pihak sekolah dan para senior saya sepertinya tidak menuangkannya dalam kegiatan sehari-hari didalam kelas.
Tidak berapa lama, setelah saya lulus kuliah, saya menerima peluang mengajar di Sekolah Pelita Harapan Lippo Karawaci. Waktu itu, saya harus mengajar dalam Bahasa Inggris. Bukan masalah, pikir saya, karena saya sudah cukup menguasainya, untuk menyampaikan materi ajar ilmu komputer kepada murid-murid disana.
Saya terkejut, ketika saya menemukan kenyataan bahwa pendekatan dan metoda mengajar saya harus diubah, karena Sekolah Pelita Harapan menerapkan Kurikulum IB (International Baccalaureate) yang sama sekali berbeda dengan apa yang saya kenal. Ilmu komputer yang saya ajarkan, tak bisa lagi diajarkan sendiri, tapi harus melalui proses perencanaan bersama dengan guru-guru lain, karena apa yang saya ajarkan harus berhubungan dengan mata pelajaran lain. Saya juga dituntut responsif kepada setiap pertanyaan yang diajukan oleh para siswa. Mengerikan sekali, sepanjang sejarah mengajar (waktu itu), baru saat itulah saya harus menyesuaikan diri dengan orang lain!
Saya bukan lagi sesosok mahluk yang serba tahu, menyampaikan ilmu, menyuruh anak-anak mencatat, lalu menguji ingatan mereka akan ilmu yang sudah saya sampaikan. Saya harus mengantisipasi arah pertanyaan anak-anak, menggali sumber-sumber belajar lain selain saya sendiri, bekerjasama dengan guru lain dalam menyusun rencana pelajaran, sampai-sampai penilaian pun, jauh lebih rumit dan melelahkan karena harus selalu siap dengan clipboard ditangan, untuk mencatat kejadian-kejadian didalam kelas yang ada hubungannya dengan aspek-aspek yang harus diamati oleh guru. Saya menjadi seorang pembelajar, sama seperti murid saya. Ada dialog di dalam kelas saya, bukan lagi monolog!
Disebuah sekolah yang lain, saya kemudian mengalami sesuatu yang berbeda daripada pengalaman saya mengajar dalam kerangka kurikulum yang Inquiry Based tadi diatas. Di sekolah ini, saya kembali mengajar dan anak-anak kembali belajar; saya berbicara dan anak-anak mendengarkan. Ah, enak sekali kalau seperti ini, pikir saya. Tidak perlu mengantisipasi, saya hadir di kelas dengan buku ditangan, bahan presentasi power point didalam laptop, saya ceramah sebentar, lalu menyuruh anak-anak mencatat, lalu quiz. Mudah!
Enak, nyaman, tapi nurani saya memberontak. Saya kembali menjadi penindas! Saya berbicara dengan pimpinan-pimpinan sekolah dalam satu jaringan yang sama, tapi mereka pun angkat tangan. Mereka bilang, beban materi ajar kita tidak memungkinkan adanya pembelajaran manusiawi seperti di SPH. Ujian yang akan dihadapi oleh anak-anak murid kita, itulah yang harus kita utamakan. Jadi, tugas guru adalah menyampaikan materi ajar, supaya anak-anak lulus ujian.
Lalu ada keharusan menerapkan Kurikulum 2013, dan saya menjadi gembira! Sejak lama saya membaca tentang kurikulum baru ini. Jiwa dari kurikulum baru ini adalah kebebasan! Tidak jauh berbeda dari apa yang saya terapkan di sekolah yang berlatar belakang kurikulum Inquiry Based, Kurikulum 2013 pun mengharamkan mata pelajaran berdiri sendiri dalam keangkuhan, menggunakan metoda saintifik yang diawali dengan kegiatan bertanya (merumuskan pertanyaan), dan aspek penilaian condong ke hasil observasi guru.