Mohon tunggu...
Roni Andrian
Roni Andrian Mohon Tunggu... -

Cerpen...I love it

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dilematika Restrukturisasi Utang PT TPPI

28 April 2012   16:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasar Surat Kementerian BUMN Nomor S-399/MBU.2/2011 tertanggal 20 Desember 2011, negara ingin merestrukturisasi piutang Pertamina di PT. Trans-Pacific Petrochemical Indotama (PT. TPPI) sebesar Rp 5,06 triliun atau 548 juta dollar AS.

Perlu diketahui bersama, selain dengan Pertamina, utang TPPI kepada kreditur lainnya yaitu PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Rp 3,26 triliun, dan utang ke BP Migas sekitar Rp 1,66 triliun. Total utang domestik PT. TPPI sebesar Rp 9 triliyun lebih.

Untuk mampu terus beroperasi dan membayar utang-utangnya, PT. TPPI mencari dana pinjaman kepada Deutch Bank. 1 Milyar Dollar AS siap digelontorkan dengan syarat Master of Restructuritation Agreement (MRA) harus disepakati pihak-pihak yang terlibat, termasuk Pertamina. Kini MRA itu sudah dimeja parlemen untuk dikaji lebih lanjut.

Namun sejauh ini usulan restrukturisasi masih dalam fase perbincangan alot di parlemen. Ada tiga terms restrukturisasi yang jadi pertanyaan parlemen yang dinilai berpotensi merugikan negara. Isi klausul itu adalah pertama, harga beli mogas RON 88 dari PT. TPPI ke Pertamina lebih mahal dari harga pasar (MOPS di Singapura) dan kedua, fee atas pendistribusian, penyimpanan mogas yang didapat Pertamina hanya sebesar Rp. 163 per liter padahal biaya yang dibutuhkan Pertamina Rp 415 per liternya. Nilai kerugian disini sebesar Rp 252 per liter.

Selain itu, dalam klausul lain dinyatakan bahwa PT. TPPI juga menginginkan pemerintah, melalui Kementrian ESDM, untuk merilis ijin ekspor elpiji.

Hubungan PT. TPPI dengan Pertamina

TPPI (Trans-Pacific Petrochemical Indotama), merupakan perusahaan petrokimia dan refinery terbesar di Asia Tenggara penghasil produk-produkAromatics(BTX) yang berlokasi di Tuban, Jawa Timur. Selain itu TPPI juga memproduksi produk produk kategori BBM antara lain Kerosene, Diesel Oil, dll.

Soal kepemilikan, saham PT. TPPI dipegang oleh Tuban Petro, Pertamina sebesar 15%, Itochu Corporation sebesar 4,25%, Tuban Petrochmeical Pte Ltd 17% dan Sojitz Corporation 4,25%.

Selama ini Pertamina membeli mogas RON 88 dan elpiji kepada PT. TPPI. Pembelian domestik lebih diutamakan guna menekan nilai impor elpiji yang sudah cukup besar.

Retrukturisasi Tidak Memihak Rakyat

Mengacu pada 3 klausul yang disinyalir dapat menimbulkan potensi kerugian negara akhirnya parlemen menunda proses pengkajian MRA. Dengan kata lain, pemerintah sudah menyetujui namun masih menunggu KETUK PALU dari parlemen di komisi VI.

Apabila dikaji potensi kerugian atas dua klausul diatas, dari potensi kerugian yang pertama, dengan harga beli lebih mahal Rp 500 per liter dari harga pasar, maka jumlah kerugian negara mencapai Rp 119,25 milyar per bulan (asumsi tot volume mogas yang dibeli sebanyak 238,5 juta liter per bulan). Dalam setahun angka ini  akan menjadi Rp 1,43 trilyun. Sehingga kerugian kumulatif selama 10 tahun kontrak sebesar Rp 14,31 trilyun.

Sedangkan potensi kerugian kedua yaitu fee pertamina atas penyimpanan dan distribusi mogas milik PT TPPI. Dalam sebulan kerugian yang harus ditanggung negara sebesar Rp 60,1 Milyar. Maka dalam setahun menjadi Rp 721 Milyar. Sedangkan secara kumulatif sampai akhir masa kontrak potensi kerugian menjadi Rp 7,2 triliun.

Jadi potensi kerugian kumulatif atas dua klausul MRA diatas yaitu dalam setahun negara akan merugi sebesar Rp 2,15 triliun atau sekitar Rp 21,52 triliun hingga akhir masa kontrak 10 tahun.

Utang TPPI DiBayar Oleh Negara (Pertamina)

Dari paparan hasil olah data tentang potensi kerugian negara dari dua klausul diatas nampak bahwa intervensi asing- dalam hal ini Deutsch Bank- begitu besar kepada pemerintah. Pilihan menaikkan impor elpiji menjadi tolok ukur yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Padahal, disisi lain, pasokan nasional harus diutamakan.

Pembuktian adanya intervensi asing dimulai dengan membandingkan jumlah potensi kerugian negara atas klausul mark up harga beli mogas RON 88 dan  fee Pertamina dengan jumlah utang PT. TPPI sebanyak Rp 17 trilyun.

Dari hasil olah data dikatakan bahwa PT TPPI hanya membutuhkan waktu lebih kurang 8 tahun untuk melunasi semua utang-utangnya dengan cara memBODOHI Pertamina dan pemerintah, juga rakyat. Dengan kata lain, beban utang PT. TPPI akan dibebankan SEPENUHNYA kepada pemerintah, melalui Pertamina, walau tidak secara eksplisit.

Analisanya begini, apabila potensi kerugian negara disinyalir sebesar Rp 2,15 trilyun per tahun maka dalam delapan tahun ke depan jumlah potensi kerugian negara kumulatif adalah Rp 17,22 trilyun. Besaran angka ini dapat menutupi total utang yang dimiliki oleh PT. TPPI kepada pihak domestik secara keseluruhan yang notabene tidak hanya berasal dari kreditur DOMESTIK – seperti Pertamina dan BPMigas- saja.

Jadi utang kepada pertamina dan kreditur lain yang dibayarkan PT. TPPI setelah menerima dana pinjaman Deutsch Bank akan dikembalikan oleh Pertamina dengan cara mencicil atas setiap transaksi pembelian mogas RON 88 dan elpiji ke PT. TPPI selama masa kontrak 10 tahun.

Jadi kesimpulannya adalah, MRA di settup sedemikian rupa oleh Deutsch Bank agar pembayaran utang PT. TPPI ditanggung oleh pemerintah melalui Pertamina. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah PATUH terhadap imperialism BARAT yang jelas-jelas tidak akan pernah mengHAMBA pada kepentingan rakyat namun kepada pasar bebas.

--- 000 ---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun