Masjid Agung Cirebon.
Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun Keraton Kesepuhan yang termasuk desa Lemah Wungkuk. Di bagian luar, masjid ini diberi pagar tembok keliling. Jika melihat pagar tembok sebelah timur yang berhadapan dengan jalan raya sekarang, maka tampak bahwa denah masjid ini tidak sejajar dengan pagar tembok. Namun denah tersebut yang berbentuk sangkar memang sudah tepat menghadap ke kiblat yakni kira-kira mengarah 300 arah Barat Laut. Dari penglihatan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pagar tembok ini dibuat demikian.
Denah asli masjid adalah yang sekarang dikelilingi oleh tembok bujur sangkar sedangkan bagian serambi, baik serambi timur dan utara maupun selatan dibuat lebih kemudian sebagai perluasan. Untuk memasuki bagian dalam masjid, terdapat sembilan pintu masuk dengan pintu masuk utama terdapat dibagian timur dan yang delapan lainnya disebelah utara dan selatan. Bagian dalam masjid sekarang memekai ubin dari terakotta berwarna merah dengan ukuran rata-rata 28 Cm2. Didalamnya terdapat tiang soko sebanyak empat buah yang disebut soko guru. Sebuah tiang soko yang terletak disudut tenggara tersebut dari kayu disebut soko tatal.
Tradisi menyebutkan soko tatal ini dibuat sendiri oleh Sunan Kalijaga. Tentang masa berdirinya masjid ini berbagai tafsiran. Tradisi kraton mengungkapkan berdirinya masjid ini dalam candra sangkala yang berbunyi Waspada Panembehe Yuganing Ratu (Waspada = 2, Panembehe = 2, yuga = 4, ratu = 1) sama dengan 1422 caka atau 1500 M. Tradisi juga mengatakan bahwa masjid Agung Cirebon sebagai masjid tertua di Jawa, sejaman dengan masjid Agung Demak. Tentang pintu masuk yang berjumlah sembilan, ada yang menghubungkannya dengan filsafat yang melambangkan jumlah wali yang sembilan (Wali Sanga). Atap bangunan bertingkat dua berbentuk limas an.
Pada bagian mihrab terdapat satu ukiran yang menempel persis di tempat berdirinya imam. Ukiran ini berbentuk bunga teratai yang konon dibuat juga oleh Sunan Kali Jaga. Simbol bunga teratai, menurut keterangan dari pihak keraton Kesepuhan melambangkan filsafat "yuni (hidup tanpa ruh).
Di depan pengimanan juga terdapat tiga buah ubin yang diberi tanda khusus karena punya nilai tradisionil tersendiri. Ketiga ubin ini dipasang pada waktu pendirian masjid oleh Sultan Gunung Jati. Sunan Bonang dan Sunan KaliJaga. Ketiga ubin yang dipasang oleh ketiga Wali menurut anggapan masyarakat berarti symbol dari doktrin Islam yakni Iman, Islam dan Ihsan.
Selain mendapat nama Masjid Agung, juga mendapat nama-nama lain misalnya Sang Cipta Rasa, yang juga dinamakan sebagai Masjid Agung Pakeeng Wati. Serambi yang tertua terletak disebelah selatan dan disebut Prabayakan sedang serambi depan (timur) disebut pendangan. Mimbar masjid terbuat dari kayu jati dengan ukiran dibagian kaki dan puncak berbentuk kala makara yang telah distyler diberi nama Sang Ratu atau Sang Renggas. Cis atau tongkat yang dipakai oleh Khatib, disebut sang Jubleg. Namolo atau puncak masjid (mastaka) yang kini telah tidak ada. Ketika masih ada disebut Sang Selat Bang. Bedug yang ada di masjid Agung disebut Sang Guru Mangir atau Kayai Tesbur Putih.
Suatu hal yang menarik dari Masjid ini ialah bahwa bagian atap masjid yang bertingkat dan berbentuk limas, tidak memakai hiasan puncak yang lazim disebut mastaka atau memolo. Â Bentuk limas pada atap masjid ini biasa didapati pada masjid-masjid kuno lainnya di Indonesia. Pada umumnya masjid kuno di Jawa memang bertingkat dan berbentuk meru dengan hiasan pada puncaknya seperti misalnya Masjid agung Demak (bertingkat tiga), masjid Kadilangu (bertingkat dua). Masjid Agung Banten (bertingkat lima) dan sebagainya.Â
Tentang sebabnya mengapa masjid Agung Cirebon tidak memakai memolo, menurut tradisi adalah karena kejadian sebagai berikut: Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, terjadi wabah melanda Cirebon. Untuk menangguli, Panembahan Ratu melepaskan tongkatnya yang sakti (tongkat wasiat) lalu melayang menyambar memolo sehingga memolo itu putus.
Sejak itu Sunan Gunung Jati berpesan pada Panembahan Ratu agar untuk Masjid Agung tidak usah lagi dibuatkan memolo tetapi sebagai gantinya bentuk atap dibuat berbentuk Limas sebagai symbol bahwa: Manusia tidak ada yang unggul.
Tradisi masjid kuno di Indonesia pada umumnya, di Jawa khususnya kompleks masjid tidak disertai bangunan menara yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk musim melaksanakan tugasnya. Tentang hal ini, Babad Cirebon menuliskan: Di Jawa sengaja dibuat menara karena tradisi Jawa berbeda dengan tradisi Arab dimana orang Jawa seperti muazim misalnya tidak boleh duduk dan berdiri lebih tinggi dari raja yang duduk di bawah sebab menurut tradisi Jawa hal ini bisa menyebabkan Walat.
"Ning kono, ning Jawa aja tiru-tiru adat Mekkah nganggo menara ari adat kuno ning Jawa wong cilik kena ngungguli, mbok kena Wialat".
Masjid Agung Banten Banten Lama Kecamatan Kasemen
Masjid Agung Banten terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Banten Lama. Letaknya pada suatu kompleks kepurbakalaan dengan disisi kiri dan kanan juga terdapat bangunan-bangunan lain. Bentuknya kalau kita lihat denahnya berbentuk bujur sangkar, dengan catatan bahwa selaiin denah berbentuk bujur-sangkar ini terdapat bagian depan yang disebut serambi dan bagian bangunan luar dihalaman depan yang dipergunakan untuk penyimpanan air untuk berwudhu atau mandi.Â
Bangunan kolam mini airnya diambil dari kali yang terletak dibagian selatan masjid sekitar 30 meter. Untuk mendapatkan air dibuatkan sebuah saluran. Selain denah yang berbentuk bujur sangkar, masjid ini mempunyai atap yang bertingkat lima dengan bentuk limas an yang dibentuk dengan pola simetris. Bagian atap yang pertama bentuknya lebih besar dari bagian atap yang berikutnya sehingga bentuk atap ini kalau kita lihat dari luar makin ke atas makin kecil. Pada bagian teratas bangunan terdapat lantai yang terbuat dari ubin berwarna merah tua berukuran 28 x 28 Cm.
Namun bagian dari bagian luar ubin itu tidak sama warnanya abu-abu dan berukuran 20 x 20 Cm. Dibagian dalam terdapat tiang-tiang soko guru yang terbuat kayu jati yang menyangga bagian bangunan. Disini tembok barat terdapat mimbar dari kayu dengan tangga naik terbuat dari ubin teraso sebanyak lima tingkat. Mimbar ini diberi berwarna cat merah dan kuning emas. Pada bagian puncak mimbar di bagian depan yang berbentuk lengkungan terdapat tulisan dengan huruf Arab.
Di sisi kiri mimbar terdapat bagian bangunan yang menjorok yang ternyata digunakan sebagai mihrab atau pengimanan. Di bagian sisi luar diselatan serambi yang di dalamnya terdapat beberapa makam. Di luar bangunan masjid masih disisi selatan terdapat bangunan lain yang kelihatan bersambung dengan tembok masjid yang dipergunakan sebagai museum atau tempat penyimpanan benda-benda kuno. Kalau kita masuk ke bangunan ini dibagian dalam ternyata terdapat dua lantai, dengan lantai yang kedua terbuat dari kayu.Â
Untuk menuju lantai kedua terdapat dua anak tangga yang juga terbuat dari kayu masing-masing terdapat dibagian barat dan bagian timur. Lantai bawah alasnya memakai ubin (tegel) yang dipergunakan untuk kantor atau menyimpan alat-alat kantor. Di lantai kedua terdapat beberapa benda kuno. Benda-benda tersebut ada yang disimpan pada fitrin, lemari, tetapi ada juga yang hanya letakkan di lantai saja.Â
Beberapa benda yang dapat dikenal disini ialah : sebuah tempayan besar dengan diameter sekitar 0.75 M. Tempayan ini tidak ada alasnya dengan kata lain bagian bawahnya bolong dan tak tertutup. Benda-benda lainnya ialah sebuah Kur'an Kuno ditulis tangan pada sebuah kertas Belanda yang disimpan pada lemari kaca, sebuah senjata yang disebut debus, beberapa senjata lain seperti tombak, keris dan sebagainya. Disini juga ditemukan gamelan kayu yang tidak utuh lagi gong, batu bundar dan beberapa macam benda-benda kuno lain.
Menara Masjid Agung Banten Lama
Bangunan ini terletak di halaman depan masjid Agung Banten. Diameter bagian bawah berukuran 4 M. tingginya kira-kira 8 M. Untuk menujui puncak menara terdapat jalan masuk dengan tangga yang berbentuk spiral. Pintu masuk terdapat disisi bagian utara. Kemudian terdapat anak tangga sebanyak 84 buah dengan masing-masing anak tangga berukuran lebih 50 Cm dan tebalnya kira-kira 15 Cm. Anak tangga ini dibuat dari batu karang yang dipotong sesuai dengan bentuk yang diinginkan yang pada umumnya berbentuk persegi empat.
Kalau dilihat dari luar Menara ini bertingkat dua masing-masing tingkat terdapat pagar dimana kita jika telah naik anak tangga sampai pada bagian bangunan yang terdapat pagar dimana kita jika telah naik anak tangga sampai pada bagian bangunan yang terdapat pagarnya bisa keluar melalui suatu pintu. Dari sisi pagar ini kita bisa melihat bangunan disekitarnya. Demikian juga dengan tingkat yang kedua dengan ukuran yang lebih kecil. Secara keseluruhan bangunan ini merupakan suatu bangunan tunggal.Â
Kalau kita memperlihatkan Denah maka bangunan ini berbentuk segi delapan (octagonal) dengan bagian bangunan yang makin ke atas makin mengecil. Menurut keterangan menara ini dibuat lebih kemudian daripada masjid Agung Banten. Arsiteknya ialah seorang Belanda yang bernama Lucas Cardeel yang kemudian menjadi arsitek kerajaan Baneh diabad 17 yang katanya kemudian masuk Islam dan oleh Sultan Banten diberi gelar Pangeran Wiraguna.
Menilik bentuk arsitekturnya bangunan menara dan bangunan yang dibuat museum Banten yang dulunya dikenal dengan nama Timah atas Bale Bandung juga dibuat oleh Lucas Cardeel. Masyarakat setempat menyebutkan bahwa selain berfungsi sebagai menara pada masa kerajaan Banten, menara ini dipergunakan juga untuk menara pengawas (watch tower) karena letaknya cukup baik untuk dapat mengawasi kapal-kapal yang dating dari laut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H