Mohon tunggu...
Ummu Muthiah
Ummu Muthiah Mohon Tunggu... Freelancer - Sabar, Taqwa dan Tawakkal

Jogja dan Solo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masjid Agung Cirebon dan Banten

14 Februari 2020   02:00 Diperbarui: 14 Februari 2020   02:26 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masjid Agung Cirebon.

Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun Keraton Kesepuhan yang termasuk desa Lemah Wungkuk. Di bagian luar, masjid ini diberi pagar tembok keliling. Jika melihat pagar tembok sebelah timur yang berhadapan dengan jalan raya sekarang, maka tampak bahwa denah masjid ini tidak sejajar dengan pagar tembok. Namun denah tersebut yang berbentuk sangkar memang sudah tepat menghadap ke kiblat yakni kira-kira mengarah 300 arah Barat Laut. Dari penglihatan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pagar tembok ini dibuat demikian.

Denah asli masjid adalah yang sekarang dikelilingi oleh tembok bujur sangkar sedangkan bagian serambi, baik serambi timur dan utara maupun selatan dibuat lebih kemudian sebagai perluasan. Untuk memasuki bagian dalam masjid, terdapat sembilan pintu masuk dengan pintu masuk utama terdapat dibagian timur dan yang delapan lainnya disebelah utara dan selatan. Bagian dalam masjid sekarang memekai ubin dari terakotta berwarna merah dengan ukuran rata-rata 28 Cm2. Didalamnya terdapat tiang soko sebanyak empat buah yang disebut soko guru. Sebuah tiang soko yang terletak disudut tenggara tersebut dari kayu disebut soko tatal.

Tradisi menyebutkan soko tatal ini dibuat sendiri oleh Sunan Kalijaga. Tentang masa berdirinya masjid ini berbagai tafsiran. Tradisi kraton mengungkapkan berdirinya masjid ini dalam candra sangkala yang berbunyi Waspada Panembehe Yuganing Ratu (Waspada = 2, Panembehe = 2, yuga = 4, ratu = 1) sama dengan 1422 caka atau 1500 M. Tradisi juga mengatakan bahwa masjid Agung Cirebon sebagai masjid tertua di Jawa, sejaman dengan masjid Agung Demak. Tentang pintu masuk yang berjumlah sembilan, ada yang menghubungkannya dengan filsafat yang melambangkan jumlah wali yang sembilan (Wali Sanga). Atap bangunan bertingkat dua berbentuk limas an.

Pada bagian mihrab terdapat satu ukiran yang menempel persis di tempat berdirinya imam. Ukiran ini berbentuk bunga teratai yang konon dibuat juga oleh Sunan Kali Jaga. Simbol bunga teratai, menurut keterangan dari pihak keraton Kesepuhan melambangkan filsafat "yuni (hidup tanpa ruh).
Di depan pengimanan juga terdapat tiga buah ubin yang diberi tanda khusus karena punya nilai tradisionil tersendiri. Ketiga ubin ini dipasang pada waktu pendirian masjid oleh Sultan Gunung Jati. Sunan Bonang dan Sunan KaliJaga. Ketiga ubin yang dipasang oleh ketiga Wali menurut anggapan masyarakat berarti symbol dari doktrin Islam yakni Iman, Islam dan Ihsan.

Selain mendapat nama Masjid Agung, juga mendapat nama-nama lain misalnya Sang Cipta Rasa, yang juga dinamakan sebagai Masjid Agung Pakeeng Wati. Serambi yang tertua terletak disebelah selatan dan disebut Prabayakan sedang serambi depan (timur) disebut pendangan. Mimbar masjid terbuat dari kayu jati dengan ukiran dibagian kaki dan puncak berbentuk kala makara yang telah distyler diberi nama Sang Ratu atau Sang Renggas. Cis atau tongkat yang dipakai oleh Khatib, disebut sang Jubleg. Namolo atau puncak masjid (mastaka) yang kini telah tidak ada. Ketika masih ada disebut Sang Selat Bang. Bedug yang ada di masjid Agung disebut Sang Guru Mangir atau Kayai Tesbur Putih.

Suatu hal yang menarik dari Masjid ini ialah bahwa bagian atap masjid yang bertingkat dan berbentuk limas, tidak memakai hiasan puncak yang lazim disebut mastaka atau memolo.  Bentuk limas pada atap masjid ini biasa didapati pada masjid-masjid kuno lainnya di Indonesia. Pada umumnya masjid kuno di Jawa memang bertingkat dan berbentuk meru dengan hiasan pada puncaknya seperti misalnya Masjid agung Demak (bertingkat tiga), masjid Kadilangu (bertingkat dua). Masjid Agung Banten (bertingkat lima) dan sebagainya. 

Tentang sebabnya mengapa masjid Agung Cirebon tidak memakai memolo, menurut tradisi adalah karena kejadian sebagai berikut: Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, terjadi wabah melanda Cirebon. Untuk menangguli, Panembahan Ratu melepaskan tongkatnya yang sakti (tongkat wasiat) lalu melayang menyambar memolo sehingga memolo itu putus.

Sejak itu Sunan Gunung Jati berpesan pada Panembahan Ratu agar untuk Masjid Agung tidak usah lagi dibuatkan memolo tetapi sebagai gantinya bentuk atap dibuat berbentuk Limas sebagai symbol bahwa: Manusia tidak ada yang unggul.

Tradisi masjid kuno di Indonesia pada umumnya, di Jawa khususnya kompleks masjid tidak disertai bangunan menara yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk musim melaksanakan tugasnya. Tentang hal ini, Babad Cirebon menuliskan: Di Jawa sengaja dibuat menara karena tradisi Jawa berbeda dengan tradisi Arab dimana orang Jawa seperti muazim misalnya tidak boleh duduk dan berdiri lebih tinggi dari raja yang duduk di bawah sebab menurut tradisi Jawa hal ini bisa menyebabkan Walat.

"Ning kono, ning Jawa aja tiru-tiru adat Mekkah nganggo menara ari adat kuno ning Jawa wong cilik kena ngungguli, mbok kena Wialat".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun