Mohon tunggu...
Maruf Mutaqien
Maruf Mutaqien Mohon Tunggu... -

Science Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Money

Kutukan Sumber Daya Alam

27 Desember 2013   17:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah keragaman sejatinya tersimpan harapan dan optimisme. Dalam hal apa pun, termasuk sumber daya alam. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, daerah atau negara yang memiliki keunggulan ini tak mesti terlalu banyak bersolek, karena ia sudah terlihat seksi dengan sendirinya.

Faktanya, negara-negara dengan kekayaan dan keragaman sumber daya alam memang dapat lebih leluasa memacu pertumbuhan ekonomi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. “Shifthing the good Apples”, demikian Alchian dan Allen menamai kecenderungan tersebut. Karena kualitas dan keunggulan, sesuatu menjadi lebih disukai dan nilainya menjadi lebih tinggi (Journal of Politic, 1978).

Bila di masa lalu nilai tambah (value added) yang dimaksud adalah sumber daya alam biotik (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme), namun sekarang, nilai lebih tersebut ada pada komponen abiotik, dengan sumber daya energi sebagai komponen utamanya.

Lihatlah bagaimana teorama tersebut dapat berjalan baik di negara-negara yang memiliki keunggulan dalam bidang sumber daya alam, khususnya sumber energi. Dan Norwegia merupakan salah satu negara yang terdepan dalam hal ini.

Belajar dari Norwegia

Dibandingkan dengan Arab Saudi, Iran maupun Venezuela, cadangan migas negara di Semenanjung Skandinavia ini memang tak seberapa.Namun bila dilihat dari rasio elektrivikasi, bauran energi, dan tentu saja Indeks Prestasi Manusianya (IPM), maka Norwegia bisa dikatakan yang paling baik sedunia.

Bila melihat 30 tahun ke belakang, pengelolaan migas Norwegia memang tak lebih baik dari pengelolaan migas di Tanah air. Waktu itu, perusahaan migas Norwegia atau Statoil tak mampu mengelola sumur minyak lepas pantainya sendiri. Pada tahun 1972, Statoil bahkan pernah kita tolak untuk mengelola Blok Alpha D Natuna.

Namun, sejak menggandeng perusahaan swasta lokal, peruntungan Statoil pun berubah drastis. Dari perusahaan migas kelas teri, menjadi perusahaan migas kelas dunia. Hampir 25 persen PDB negara ini merupakan sumbangan dari pendapatan migas dari Statoil.

Norwegia juga berhasil mengembangkan teknologi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBTE). Sehingga hampir semua kebutuhan listrik di negaranya berasal dari turbin-turbin yang digerakan oleh air, udara dan panas bumi yang terdapat di negara tersebut. Norwegia juga tercatat sebagai negara yang berhasil mengekspor teknologi pemanfaatan EBTE di dunia. Artinya teknologi ini tak hanya berhasil menggerakan hampir seluruh aktivitas negaranya tapi juga mampu menghasilkan tambahan penerimaan negara.

Kelebihan yang paling utama adalah model pengelolaan dana migasnya. Bagi Norwegia, dana migas merupakan instrumen penting dalam kebijakan ekonomi. Untuk itu, pemerintah bersama dengan parlemen membuat undang-undang khusus tentang pengelolaan dana migas tersebut.

Ada dua hal penting yang dapat kita tangkap dari pengelolaan dana migas Norwegia; Pertama, pendapatan dari sektor migas harus dipastikan digunakan tidak hanya oleh generasi sekarang, tapi juga oleh generasi masa depan; Kedua, dana migas harus menjadi penyangga antara pendapatan migas saat ini dan belanja negara dalam ekonomi.

Untuk kedua hal tersebut, Storling (Parlemen Norwegia) telah menyepakati pedoman penggunaan pendapatan migas dengan batas 4 persen dari pendapatan nyata operasi migas per tahun. Parlemen juga mengatur, bahwa pihak yang boleh menggunakan dana migas tersebut hanyalah pemerintah pusat.

Secara formal dana migas Norwegia dikelola oleh Petroleum Fund of Norway (PFN). Pembentukan PFN pada tahun 1990-an ini didasari oleh kesadaran Parlemen dan Pemerintah Norwegia bahwa penerimaan migas akan terus menurun di masa yang akan datang. Dan untuk itu, dana migas harus diinvestasikan, bukan untuk subsidi atau membayar gaji pejabat negara.

Kesadaran tersebut, kemudian membuat pemerintah Norwegia berusaha sekuat tenaga untuk menggunakan dana migas se-efisien mungkin. Dengan begitu, perekonomian Norwegia terlindungi dari fluktuasi harga migas dunia. Maka tak heranlah bila Norwegia memiliki tingkat IPM tertinggi di dunia.

Resource Curse

Beda halnya dengan di Indonesia, dimana pengelolaan migas negaratak kunjung lepas dari paradigma kuras, lalu habiskan.Hampir semua pendapatan migas dikalkulasikan secara nasional, lalu dimanfaatkan untuk subsidi dan belanja pegawai. Sementara infrastruktur migas dibiarkan menua secara dini.

Celakanya lagi, alih-alih mengedepankan kepentingan negara, pengelolaan migas nasional malah dikuasi oleh asing. Data Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2001-2011, 74 persen Wilayah Kerja Migas yang sudah berproduksi digarap oleh perusahaan asing.

Dengan paradigma dan fakta tersebut, maka wajar saja bila tingkat IPM Indonesia bercokol di urutan ke-121 (UNDP, 2013). Posisi ini jauh di bawah Singapura, dan Thailand; negara-negara yang cadangan sumber energinya berada jauh di bawah Indonesia.

Sebagai negara yang memiliki kekayaan dan keragaman sumber daya energi, Indonesia semestinya juga menyimpan cadangan optimisme dan daya kreatif seperti Norwegia. Sumber daya energi berbentuk fosil seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara begitu melimpah. Pun demikian dengan jenis energi non fosil seperti panas bumi, air, sinar matahari, angin dan bio-energi seakan tiada habisnya di negeri ini.

Hanya saja, fakta di lapangan membuktikan, bahwa sumber daya alam yang melimpah tersebut tak kunjung mampu menyejahterakan rakyatnya. Persoalan subsidi, kekurangan pasokan energi bagi pembangkit listrik, kekurangan pasokan bahan bakar untuk industri pupuk dan nelayan serta konflik sosial di sekitar pertambangan malah menjadi pemandangan sehari-hari di negeri yang katanya kaya akan sumber daya alam ini.

Ibarat tikus yang mati di lumbung padi, 322 perusahaan industri lokal terancam gulung tikar di wilayah yang disebut-sebut sebagai salah satu lumbung energi (Jawa Timur). Dari kebutuhan gas sebesar 872 juta kubik per hari (mmscfd), perusahaan-perusahaan gas seperti PT Minarak Lapindo Jaya di Sidoarjo, PT Santos di lepas pantai Sampang-Madura, Pertamina Hulu Energi (PHE) West Madura Offshore di Madura hingga Blok Cepu di Bojonegoro hanya mampu memenuhi sekitar 457 mmscfd (ESDM-Jawa Timur, 2011).

Sebagai negara yang dilimpahi sumber migas yang sangat besar, tak sepatutnya perusahaan-perusahaan di negeri ini mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan energi. Kiranya memang benarlah apa yang dikatakan Richard Authy, bahwa selain meniscayakan kemajuan dan kesejahteraan, kekayaan alam juga dapat melahirkan kutukan sumber daya alam, atau resource curse.

Bila dalam perjalannya sebuah negara kaya mampu mengelola sumber daya alamnya dengan baik, maka kesejahteraanlah yang niscaya akan didapatnya. Sebaliknya, bila dalam perkembangan selanjutnya sebuah negara keliru dalammengelola sumber daya alamnya, makabersiaplah untuk menerima kutukan yang mengerikan. [ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun