Dukungan dari partai – partai politik besar bukanlah jaminan suatu kandidat akan dapat dengan mudah memenangi pertarungan dalam Pilkada. Mesin politik partai besar tidak dapat memberikan garansi jika kandidat yang disokongnya dapat keluar sebagai pemenang. Gabungan banyak partai yang menyokong suatu kandidat bukanlah merepresentasikan banyaknya suara yang nanti akan terkumpul dalam Pilkada, bahkan cendrung hanya kumpul – kumpul elite tanpa basis konstituen yang jelas persis seperti kumpulan jendral yang tak jelas berapa pasukan dibelakangnya.
Contoh dalam Pilkada yang diselenggarakan di Tangerang Selatan membuktikan bahwa gabungan partai – partai besar tidak mampu menjamin kemenangan yang signifikan. Pasangan yang didukung oleh partai – partai besar adalah pasangan Airin – Benyamin. Partai – partai besar yang mendukung Airin – Benyamin tergabung dalam “Koalisi Menata Tangsel” terdiri dari Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI – P, PKS, PAN dan PKB, hal tersebut tentu mengindikasikan bahwa diatas kertas pasangan Airin – Benyamin sudah tentu akan memenangi pertarung Pilkada Tangsel. Apalagi mengingat hitung – hitungan politik gabungan konstituen partai – partai besar tersebut akan mampu membuat pasangan Airin – Benyamin jauh meninggalkan pasangan – pasangan lainnya.
Faktanya, hasil pilkada membuktikan jika pasangan Airin dan Benyamin hanya mampu mendapat dukungan suara sebanyak 188.893 suara, unggul tipis dari saingan beratnya pasangan Arsid – Andre yang berhasil mengumpulkan sebanyak 187.778 suara. Hal tesebut terlihat miris karena melihat pasangan Arsid – Andre hanya didukung oleh partai – partai menengah yaitu partai Gerindra, Hanura, PBB dan PPP terbukti mampu menyeimbangi manuver politik dari partai – partai besar yang menyokong duet Airin – Benyamin meski harus puas dengan selisih tipis untuk kemenangan Airin – Benyamin.
Setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan mengapa gabungan partai – partai besar tidak mampu memberikan hasil yang optimal dalam pemilu Tangerang Selatan. Pertama, gabungan partai – partai besar sifatnya hanya elitis tanpa didasari kejelasan basis masa. Kedua, buruknya kinerja mesin partai. Ketiga, kepercayaan publik terhadap partai politik semakin melemah sehingga kecendrungan publik lebih mengarah pada siapa aktor bukan siapa partai yang berada dibelakang aktor.
Jadi, dukungan partai – partai besar belum menjamin suatu pasangan calon dapat keluar sebagai pemenang dalam pilkada, semua tergantung bagaimana mesin – mesin politik pasangan calon bekerja secara maksimal dalam meraih simpati masyarakat bukan hanya terpaku pada mesin – mesin partai besar yang belum tentu memberikan hasil yang optimal. Pilkada Tangsel membuktikan bahwa pasangan yang didukung oleh partai – partai besar nyatanya tidak mampu unggul secara signifikan dari kandidat yang hanya disokong oleh partai – partai menengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H