“SAYA KATAKAN BAHWA KITA BISA HANCUR KARENA TEKANAN-TEKANAN HIDUP, TETAPI KITA TIDAK AKAN PERNAH TERKALAHKAN.”
( SOE HOK GIE ; dikutip dari ‘CATATAN SEORANG DEMONSTRAN’ hal 426)
Sebatang pohon oak, niscaya dapat bertahan ketika dihatam oleh topan maha dahsyat sekalipun, namun serumpun bambu akan oleng dan hilang keseimbangan meski hanya diterpa angin semilir. Soe Soe Hok Gie, ikon gerakan Mahasiswa angkatan 66, telah menisbikan dirinya menjadi pohon oak itu. Kendati kesendirian, ancaman dan pengkhianatan dialamatkan padanya, ia tetap kukuh bertahan di atas rel perjuangan yang diyakininya benar. Masa masa sulit ditempuhnya penuh ketabahan hingga ia tutup usia di puncak gunung semeru setelah menghisap gas beracun. Sosoknya kemudian melenggenda, terutama dikalangan pemuda yang rindu akan munculnya ‘pemimpin ideal’ di tengah krisis keteladanan saat ini.
“Saya dilahirkan pada 17 Desember 1942 ketika perang sedang berkecamuk di Fasifik”, demikian ungkap Soe Hok Gie dibagian awal buku hariannya. Sosok yang akrab dipanggil Cina kecil ini, adalah putra dari Soe Lie Piet, novelis sekaligus Wartawan Sunday Courrier dan Nio Hoei An, seorang ibu rumah tangga sederhana namun penuh dedikasi dalam membesarkan kelima anaknya (Dien, Mona, Arif, Gie dan Siane). Semula Soe Hok Gie kecil bersekolah Sin Hwa, sekolah Tionghoa berbahasa Inggris, kemudian pindah ke Sekolah Rakyat (SD saat ini) yang berlokasi di Gang Komandan, kini terletak dibelakang Pengadilan Negri Jakarta Pusat.
Menginjak SMP, ia bersama kakaknya Arif Budiman mendaftar ke Kanisius, namun hanya Arif yang diterima sementara Gie tidak. Iapun memilih SMP Strada. Pergaulannya mulai luas karena ia dapat berbaur dengan dengan kawan-kawan yang datang dari beragam strata sosial dan ekomomi. Baru saat SMA ia kembali satu almamater dengan kakaknya di Kanisius. Begitupun ketika memasuki masa perkuliahan. Mereka berdua diterima di Universitas Indonesia. Bedanya Gie masuk fakultas sastra jurusan sejarah sedang Arif memilih fakultas Psikologi.
Berbeda dengan kebanyakan remaja baik pada zamannya ataupun masa kini, Soe Hok Gie telah ‘melek sosial’ sejak dini. Buku buku bermutu karya Mochtar lubis, George Orwell, Shakespeare dan lain lain telah memengaruhinya untuk menjadi pribadi humanis, jujur, berani mengambil risiko. Hal ini tercermin pada catatan hariannya. Saat diperlakukan tak adil oleh seorang Guru sewaktu SMP, Soe Hok Gie menulis, “Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Ulangan ilmu bumi ku 8 tapi dikurangi 3 jadi 5. Aku iri dikelas karena merupakan orang ketiga terpandai dari ulangan tersebut. Aku percaya bahwa setidak-tidaknya aku yang terpandai dalam ilmu bumi dari seluruh kelas. Dendam yang disimpan, turun hati, lalu mengeras bagai batu. Kertasnya aku buang. Biar aku di hukum. Aku tak pernah jatuh dalam ulangan.” Atau ketika mengggugat kemapanan. Setelah memberikan uang pada seorang pemakan kulit mangga, ia menulis,“Aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah makan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah satu gejala yang mulai nampak di Ibu Kota. Dan kuberikan Rp 2.50 uangku. Uangku hanya 2.50 waktu itu. Ya dua kilo meter dari pemakan kulit, paduka kita mungkin lagi tertawa-tawa, maka-makan dengan istri-istrinya yang cantik…… aku bersama mu orang-orang malang”
Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.
Ada hal baik pada dua kakak beradik selama menempuh pendidikan di SMA,Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia.Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.
Lulus dari Kanisius, Soe Hok Gie memasuki lingkungan kampus dengan semangat full. Ia bukan hanya dikenal sebagai kutu buku yang rajin menderas bacaan bacaan berat namun juga aktif berdiskusi, berorganisasi dan naik gunung, salah satu hobi yang paling digemarinya. Aktifitasnya tak lepas dari kegiatan kegiatan sosial. Orang yang belum pernah berjumpa atau membaca kisah hidupnya akan menganggap kalau Gie yang terkenal karena tulisan-tulisan tajamnya itu, adalah sosok berbadan tegap dengan dengan tampilan muka garang. Namun tak demikian kenyataanya. Secara fisik ia berbadan kurus (lebih tepat kerenpeng) dan cara memunyai cara berjalan yang unik seperti dapat kita lihat dalam film GIE hingga dapat membuat kita tersenyum kecil.
Secara sosial Di mata kawan kawan kuliahnya ia adalah pribadi menyenangkan, terbuka dan selalu siap membantu siapapun yang sedang mengalami masalah. Hal tersebut disampaikan oleh Kartini Sjahrir. Dalam suratnya pada Soe Hok Gie, Ker (panggilan akrab Kartini Sjahrir) menulis, “saya ketemu kamu yang begitu lucu, imut imut, berantakan kalau berpakaian, suka naik gunung, suka diskusi, senang folk songs :Joan Baez, Nana Mouskori, suka membaca, suka organisasi-hal hal yang bagi saya terasa baru,aneh, ajaib tapi juga mnyenangkan.”
Lain lagi dengan yang disampaikan Oleh Luki Bekti kawan satu kampus Gie. Ia berkata, “Di kampus Soe Hok Gie bak Dokter yang buka praktek. Teman-teman harus membuat janji dulu jika ingin berbicara serius dengannya. Menurut saya hal itu terjadi karena Soe Hok Gie adalah orang yang pandai mendengarkan dan menanggapi keluh kesah teman temannya. Menurut istilah sekarang, Soe Hok Gie adalah teman curhat yang baik. Baik teman perempuan maupun pria, tak sungkan bercurhat dengannya.” Masih menurut Bekti, kesetiaan Soe Hok Gie pada teman-teman ditunjukan dengan memberi perhatian tulus. Soe Hok Gie pernah mengajak dirinya untuk menengok seorang teman perempuan yang mengalami stress berat di unit perawatan kejiwaan. Ia menengoknya bukan cuma sekali tapi beberapa kali dengan tak bosan memberi dukungan moral baginya.
Masih di lingkungan kampus, Soe Hok Gie dikenal pula sebagai aktifis makasiswa yang kritis serta memiliki pandangan pandangan ideal untuk bangsannya. Kendati berasal dari keluarga minoritas Tionghoa, namun ia mendedikasikan diri sepenuhnya untuk kepentingan lebih besar, bangsanya tanpa memandang agama, suku dan warna kulit.
Seperti disampaikan oleh Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Utama, Soe Hok Gie menyikapi tiap persoalan secara ‘hitam putih’. Karena itu analisisnya menjadi tajam dan menusuk. Pada masa demokorasi terpimpin sebagai contoh, ia merasa gusar saat melihat bung Karno melenceng dari cita cita revolusi semula. Menurutnya pemerintahan sang proklamator bukan hanya tak bekerja dengan efisien tetapi juga termahsyur karena praktik korupsi dan dekadensi moral. Sementara rakyat sendiri hidup dalam kemelaratan, mengantri minyak dan kekurangan pangan. Soe Hok Gie menulis, “kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak, maka lahirlah sang demontsran.” Sebagai seorang intelektual yang merasa terpanggil untuk melakukan perubahan,Soe Hok Gie memainkan dua peran ganda yakni sebagai man on the street sekaligus Man On the paper.
Sebagai man on the street ia menjadi seorang demonstran yang aktif, hari harinya diisi dengan demo. Rapat penting disana sini dan membangun jaringan. Tahun 1966 ketika mahasiswa turun kejalan dengan mengusung isu Tritura, ia berada dibarisan paling depan. Konon ia pulalah yang menjadi salah satu tokoh kunci terjadinya alisansi anatara Mahaiswa dan ABRI 1966.
Sedang sebagai man on the paper, ia menjadi seorang penulis yang goresan penanya amat tajam. Tulisan tulisan Gie selalu blak blakan, telanjang, berani, jujur namun tidak membabi buta, karena berdasarkan pada daya analisis mendalam dan disertai oleh sentuhan kemanusiaan. Dalam artikel berjudul ‘Orang orang Indonesia Di Amerika’ sebagai contoh, ia menulis dengan sangat gamblang kebiasaan pembesar pembesar kita yang doyan ‘menunggang kuda putih’, dengan kata lain ‘tidur’ bersama perempuan bule saat melakukan dinas kenegaraan ke luar negri. Atau waktu menyinggung proyek Monumen Nasional ia berujar, “Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di puncaknya daripada membuat dan memperbaiki 1000 kilometer jalan raya.”
Semula Gie bersama kawan-kawannya bekerja keras demi mewujudkan cita cita mereka. Ia percaya bila rezim orde lama tumbang maka keadaan akan lebih baik. Namun kejadiaanya justru anti klimaks. Setelah Bung Karno Mundur dan Soeharto menggantikan posisinya keadaan ternyata tak jadi lebih baik. Ia geram atas pembunuhan besar besaran yang dialami oleh anggota PKI dan mereka yang di tuduh sebagai simpatisannya. Soe Hok Gie jelas bukan PKI, tapi dalam pandangannya tiap orang sejahat apapun memiliki hak untuk membela diri dan mendapat pembelaan hukum saat akan diadili. Ketika banyak orang tidak tahu atau bisa jadi pura-pura tidak tahu terhadap hal itu karena takut mendapat tuduhan serupa dari Orde Baru, ia dengan berani menulis, “di akhir tahun 1965 dan disekitar tahun 1966, dipulau yang indah ini (Bali) telah terjadi suatu malapetaka yang mngerikan, yang tiada taranya dalam zaman modern ini baik dari sudut waktu yang begitu singkat maupun dari jumlah mereka mereka yang disembelih.”
Saat HAM perlu dibela dan keadilan perlu ditegakan, kawan kawan aktifinya justru berpaling dan lebih memilih untuk bergabung di parlemen. Gie kecewa, karena baginya mahasiswa adalah kekuatan moral yang independen dan tak tersentuh oleh unsur politik manapun. mereka bertugas untuk mengganti rezim yang telah bobrok dengan rezim baru yang lebih baik. Setelah tugas itu usai, maka mahasiswa harus kembali ke kampus untuk belajar. kekecewaan itu ia wujudkan dengan menggelar protes yang bikin geger. Gie mengirimi mereka bedak, gincu, cermin, benang dan jarum. Dalam suratnya ia menulis, agar mereka terlihat lebih menarik dimata penguasa. “bekerjalah lebih baik, hidup orde baru! Nikmatilah kursi Anda-tidurlah nyenak”, ungkapnya sinis.
Keberanian Soe Hok Gie bukan tanpa risiko. Ia mendapat surat kaleng dengan makian rasis agar dirinya kembali saja ke negri asalnya atau dirempet mobil. “Nasibmu akan ditentukan pada suatu ketika. Kau sekarang sudah dibuntuti. Saya nasihatkan jangan pergi sendirian atau di malam hari”, begitu bunyi salah satu ancaman yang ditujukan. Kawan kawannyapun mulai menjauh darinya. Saat keadaan tidak menjadi lebih baik, padahal penguasa telah berganti, ia curhat pada sang kakak Arif Budiman, “Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”
Guna menghilangkan keresahan dalam dirinya, ia pun sering sering naik gunung. Aktifitas yang membuat ia dapat mengenal dan mencintai Indonesia secara langsung. Ia bersinggungan dengan orang-orang desa dan di alamlah dirinya mendapat kedamaian. Hingga kematian menjemputnya dipuncak Semeru pada 16 Desember 1969, cita cita Soe Soe Hok Gie soal kehidupan yang adil makmur belum tercapai. Ia mati muda sebelum usiannya genap 27 tahun. Alam semesta rupanya lebih mencintai dirinya dan tak tak rela kalau sang demonstran kembali bergabung dengan kehidupan kota yang serba munafik. Prasasti atas kematiannya abadi tersimpan dipuncak gunung semeru. Barangkali ia telah menjadi penunggu gunung tertinggi di pulau jawa itu dan sedang mengawasi perjalanan bangsanya dengan bimbang.
“I’ AM NEVER BE CALM, AND ALWAYS BE GELISAH”, ( salah satu coretan Gie )
Apa reaksi Soe Soe Hok Gie bila masih hidup saat ini? Indonesia sekarang tak lebih baik bila dibanding dengan zamannya dulu. Apakah ia akan menjadi apatis atau tetap resisten melawan setiap ketidakadilan dengan segala risikonya? Apakah ia akan berkompromi dengan kekuasaan atau tetap menjaga jarak dan independen?
Guna menjawab pertanyaan itu, sedari awal Soe Hok Gie berkata, “Di Indonesia hanya ada dua pilihan: menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis sampai batas batas sejauh jauhnya”. Sampai ‘batas sejauh jauhnya’ ia berujar. Dengan senegap intergritas dan bukti bukti perjuangnnya, bilapun ia masih hidup saat ini, niscaya dirinya akan tetap konsisten rel perjuangannya yang murni. Ia tak akan mendirikan partai politik atau menjadi bagian dari kekuasaan. Profesi yang dipilih mungkin dosen, mungkin jurnalis atau mungkin juga keduannya. Namun bila profesi profesi tersebut tak dapat lagi menampung kreatifitas pikirannya, bisa saja ia menjelma jadi seorang blogger yang aktif. Bukankah sejak remaja Soe Hok Gie telah menjadi tukang curhat dibuku hariannya. Kemajuan teknologi dapat memfasilitasinya untuk menyebarluaskan apa yang ia pikirkan secara luas dan gratis.
Terlepas ia telah meninggal atau masih hidup, Soe Hok Gie adalah model ideal bagi setiap generasi muda Indonesia, khususnya mahasiswa untuk menilai diri mereka secara jujur. Apa yang telah mereka lakukan untuk bangsa ini? Tridharma pendidikan tinggi mengamanatkan tiga poin penting, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian. Namun seperti jauh panggang dari api, sebagian mahasiswa memaknai kehidupan kampus hanya berkutat soal bangku bangku, ruang kelas dan pengajaran tok. Tak heran muncul istilah istilah seperti kupu kupu atau kuliah pulang kuliah pulang bagi mereka yang tidak punya aktifitas lain di kampus kecuali belajar, atau kuper atau kuliah-perpus kuliah-perpus, bagi mereka yang telalu serius menderasi diktat diktat. Sementara sebagian lagi sama sekali tak tahu apa esensi pendidikan tinggi sesungguhnya.
Padahal menurut Novelis Edith Warthon, Generasi muda hendaknya menjadi lilin yang menjadi cahaya sekaligus mencari cermin yang memantulkan sinarnya. Hal ini dibuktikan oleh Soe Hok Gie. Secara personal dan sosial ia dikenal sebagai sosok simpatik, ramah dan tak sungkan membantuk kawan yang mendapat masalah. Sebagai seorang intelektual ia telah memenuhi panggilan jiwanya yang paling dalam. kekritisan sikapnya, tercermin dari aktiftasnya sebagai seorang demostran dan penulis. Baginya menjadi pintar saja tidaklah cukup kalau belum bisa bertindak benar. Bukankah kepintaran yang tak diiringin kebenaran berpotensi besar untuk ‘merusak’ dimasa datang. Soe Hok Gie telah menyelerasakan fungsi Tri Dharman Pendidikan tinggi yang pincang itu. Meski pengkhianatan dan ancaman ditujukan padanya, namun Soe Hok Gie tetap konsisten. Ia tak tergiur untuk bergabung dengan kekuasaan dan memeperkaya diri sendiri seperti kawan kawannya.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisi dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Sikap seperti itu yang mestinya merasuki jiwa tiap generasi muda. Kembali menelaah risalahnya dan berkali-kali meneladaninya merupakan suatu keutamaan. Meneladani dalam prespektif mewarisi karakternya yang penuh martabat. Keculasan diganti kejujuran dan apatisme diganti dengan pengabdian kendati kecil dampaknya dimasyarakat. Pertanyaanya kemudian, apakah kita berani melakukan hal serupa sekarang? Menjadi tidak populer dan dianggap aneh di tengah keadaan yang serba munafik. Seperti disampaikan Soe Hok Gie, "kalau memang berani maka rentaslah jalan hidup yang kering dan sepi di depan kita".
SOE HOK GIE
SANG IDEALIS, HUMANIS, DEMONSTRAN DAN PENDAKI GUNUNG SEJATI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H