Mohon tunggu...
Oda Sekar
Oda Sekar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mari Minum Kopi dan Duduk Bersama, Pak Jokowi

15 April 2015   10:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:05 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kopi ini, Pak … tidak akan pernah menanyakan mengapa kita meminumnya malam ini.
Dia juga tidak menanyakan mengapa kita datang kepadanya pagi ini. Jadi, tidak peduli
ada bapak atau tidak kopi ini tetap setia menunggu siapa yang mau menghampiri.

Meski begitu, marilah saya ajak bapak minum kopi dan duduk bersama saya saat ini. Biar kita uraikan satu persatu segala keresahan dalam pikiran kita masing-masing lewat obrolan singkat sepeminuman kopi.

Biar saya mulai dengan keresahan saya saja, boleh?

Keresahan saya dimulai pada cerita tentang berlangsungnya hari pertama Ujian Nasional 2015 di negara ini.

Hari itu hari Senin, segerombolan anak baru saja keluar kelas setelah selesai mengerjakan soal Bahasa Indonesia dan Kimia yang diujikan. Sambil berseloroh mereka berbicara satu sama lain, “udah pulang … pulang … print sendiri aja soalnya di rumah!” sontak mereka tertawa beramai-ramai. Namun ada seseorang yang tidak tertawa. Tidak sama sekali. Dia seorang guru yang kebetulan mengawas kelas tersebut dan mencuri dengar obrolan seloroh para siswa.

Hatinya gelisah teringat akan apa yang ditemuinya semalam. Muncul lagi dalam benaknya sebuah tautan internet di mana semalam dia mengunduh beberapa soal yang katanya adalah soal Ujian Nasional. Tidak, dia tidak mau percaya dengan apa yang didengarnya. Maka bergegas dia memeriksa naskah soal Ujian Nasional yang tersisa sebelum dimasukkan ke dalam amplop dan disegel kembali - sesuai SOP UN. Dicocokannya soal di situ dengan soal yang semalam diunduhnya. Matanya nanar. Lagi … di depan matanya sekali lagi terjadi kecurangan terhadap hal baik bernama Ujian Nasional.

Soal itu sama persis.

Hal pertama dalam pikirannya adalah melaporkan ini kepada Kepala Sekolah. Didatanginya Kepala Sekolah dengan bukti yang ada. Di depan matanya Kepala Sekolah itu menelepon Gubernur DKI Jakarta dan meneruskan laporan mengenai temuan kecurangan ini. Sudah selesaikah? Belum. Dia masih gelisah. Segera dihubunginya seorang sejawat yang tidak lagi berkecimpung di dunia pengajaaran. Lewat pesan singkat diberikannya penjelasan mengenai kecurangan itu berikut dengan tautan internet tempat di mana soal itu disimpan.

Sejawat itu membuka tautan yang ada padanya dan terperangah. Pikirannya langsung melesat untuk mengadukan hal yang diadukan padanya? Tapi pada siapa? Lalu dia teringat pada seorang kenalan dengan power yang cukup untuk membuat berita ini setidaknya sampai ke telinga pembantu bapak, ya Pak Menteri. Kenalan ini adalah seorang perwakilan dari FSGI - Forum Serikat Guru Independen.

FSGI melakukan investigasi terhadap aduan tersebut dan memang benar … soal temuan dari internet itu sama persis. Namun hingga malam hari belum ada kejelasan mengenai apa yang akan dilakukan oleh serikat guru ini.

Dengan gatal, Sang Sejawat meminta bantuan pada beberapa kenalan dari media elektronik. Tujuannya hanya satu, supaya berita ini sampai pada Pak Menteri lalu sampai pada Bapak, Pak Jokowi. Selain itu juga supaya mata orang-orang terbuka bahwa Ujian Nasional sudah buruk hingga ke akar-akarnya.

Melalui takdir, Sang Sejawat berhasil menarik hati sebuah media elektronik terkenal untuk memberitakan mengenai kebocoran ini. Sebelumnya kenalan dari FSGI telah menyampaikan pernyataan resmi mengenai temuan kebocoran di media elektronik lain pada pagi hari kedua pelaksanaan Ujian Nasional. Pada siang hari Sang Sejawat di datangi media elektronik terkenal dan pada kesempatan itu Sang Sejawat memaparkan betapa bobroknya pelaksanaan Ujian Nasional ini berikut bukti-bukti kebocoran naskah Ujian Nasional 2015. Kepada media elektronik itu diberikannya 25 paket soal dari 30 paket soal sebagai bukti akan segala pernyataannya.

Besar harapan akan ada jalan supaya kasus kebocoran yang nyata-nyata terjadi ini diusut hingga tuntas. Harapan itu membumbung tinggi terutama sejak Sang Sejawat menerima berita bahwa website penyimpanan soal Ujian Nasional di dunia maya itu sudah ditutup dan dibersihkan. Tidak lagi ada satupun data soal Ujian Nasional di sana. Menurut pesan dari orang yang mengabarinya, Pak Jokowi yang meminta penutupan itu langsung kepada markas websitenya di Amerika Serikat. Bahkan katanya Bapak sudah mengajukan kepada Bareskrim untuk mengusut temuan ini.

Betapa kemudian harapan itu lenyap diganti kekecewaan begitu mendengar dari media bahwa pemerintah menyatakan tidak terjadi kebocoran apapun terhadap Ujian Nasional tahun ini. Seolah-olah aduan itu tidak pernah ada. Seolah-olah bukti itu tidak pernah diberikan.

Tidak satupun media menurunkan berita mengenai kebocoran itu lagi. Semuanya bungkam. Hanya lagi-lagi sebuah pesan tertinggal dari seorang kenalan lain, teman dan senior Sang Sejawat, pemuka agama dan juga aktivis pendidikan dari sebuah Sekolah Swasta Katolik. Pesan itu singkat, namun sarat nasehat, “sudah … ini pemerintah sedang ngademin situasi … gak usah dipanasin lagi ….”

Apakah benar Bapak dan para pembantu Bapak sedang menjernihkan situasi? Lalu mengapa perwakilan dari FSGI itu hari ini mendapat teguran? Mengapa dia yang memberi pernyataan mengenai kebocoran itu dihukum karena meninggalkan tempatnya bekerja? Tidakkah itu terlalu dicari-cari?

Saya hanya resah. Bagaimana negara ini mau melangkah? Kalau tiap arah dijegal kata serakah? Serakah akan pujian, prestasi, dan pencapaian yang maya.

Tidakkah Bapak dihantui tawa siswa-siswa yang sudah membaca soal Ujian Nasional yang bocor itu? Mereka di luar sana mempelajari bahwa Bapak dan para pembantu Bapak tidak lebih pintar dari mereka. Mereka belajar bahwa kecurangan bukanlah hal laknat yang patut dilumat. Untuk seumur hidup mereka, mereka akan tertawa mengingat semasa hidupnya mereka pernah membodohi pemerintah. Akan ada ingatan bahwa mereka berbuat curang terhadap apa yang diujikan pemerintah dan pemerintah tidak berbuat sesuatu hal pun untuk mencegah atau menghukum hal tersebut.

Mari Pak, diminum kopinya. Siapa tahu, kopi ini bisa menggantikan rasa pahit yang Anda rasakan karena baru saja ditertawakan remaja yang bahkan ijazah pun belum di tangan.

-oOo-

catatan penulis : tulisan ini diambil dari kisah nyata bukan fiksi . ditulis juga di blog pribadi penulis odasekarayu.tumblr.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun