Melalui takdir, Sang Sejawat berhasil menarik hati sebuah media elektronik terkenal untuk memberitakan mengenai kebocoran ini. Sebelumnya kenalan dari FSGI telah menyampaikan pernyataan resmi mengenai temuan kebocoran di media elektronik lain pada pagi hari kedua pelaksanaan Ujian Nasional. Pada siang hari Sang Sejawat di datangi media elektronik terkenal dan pada kesempatan itu Sang Sejawat memaparkan betapa bobroknya pelaksanaan Ujian Nasional ini berikut bukti-bukti kebocoran naskah Ujian Nasional 2015. Kepada media elektronik itu diberikannya 25 paket soal dari 30 paket soal sebagai bukti akan segala pernyataannya.
Besar harapan akan ada jalan supaya kasus kebocoran yang nyata-nyata terjadi ini diusut hingga tuntas. Harapan itu membumbung tinggi terutama sejak Sang Sejawat menerima berita bahwa website penyimpanan soal Ujian Nasional di dunia maya itu sudah ditutup dan dibersihkan. Tidak lagi ada satupun data soal Ujian Nasional di sana. Menurut pesan dari orang yang mengabarinya, Pak Jokowi yang meminta penutupan itu langsung kepada markas websitenya di Amerika Serikat. Bahkan katanya Bapak sudah mengajukan kepada Bareskrim untuk mengusut temuan ini.
Betapa kemudian harapan itu lenyap diganti kekecewaan begitu mendengar dari media bahwa pemerintah menyatakan tidak terjadi kebocoran apapun terhadap Ujian Nasional tahun ini. Seolah-olah aduan itu tidak pernah ada. Seolah-olah bukti itu tidak pernah diberikan.
Tidak satupun media menurunkan berita mengenai kebocoran itu lagi. Semuanya bungkam. Hanya lagi-lagi sebuah pesan tertinggal dari seorang kenalan lain, teman dan senior Sang Sejawat, pemuka agama dan juga aktivis pendidikan dari sebuah Sekolah Swasta Katolik. Pesan itu singkat, namun sarat nasehat, “sudah … ini pemerintah sedang ngademin situasi … gak usah dipanasin lagi ….”
Apakah benar Bapak dan para pembantu Bapak sedang menjernihkan situasi? Lalu mengapa perwakilan dari FSGI itu hari ini mendapat teguran? Mengapa dia yang memberi pernyataan mengenai kebocoran itu dihukum karena meninggalkan tempatnya bekerja? Tidakkah itu terlalu dicari-cari?
Saya hanya resah. Bagaimana negara ini mau melangkah? Kalau tiap arah dijegal kata serakah? Serakah akan pujian, prestasi, dan pencapaian yang maya.
Tidakkah Bapak dihantui tawa siswa-siswa yang sudah membaca soal Ujian Nasional yang bocor itu? Mereka di luar sana mempelajari bahwa Bapak dan para pembantu Bapak tidak lebih pintar dari mereka. Mereka belajar bahwa kecurangan bukanlah hal laknat yang patut dilumat. Untuk seumur hidup mereka, mereka akan tertawa mengingat semasa hidupnya mereka pernah membodohi pemerintah. Akan ada ingatan bahwa mereka berbuat curang terhadap apa yang diujikan pemerintah dan pemerintah tidak berbuat sesuatu hal pun untuk mencegah atau menghukum hal tersebut.
Mari Pak, diminum kopinya. Siapa tahu, kopi ini bisa menggantikan rasa pahit yang Anda rasakan karena baru saja ditertawakan remaja yang bahkan ijazah pun belum di tangan.
-oOo-
catatan penulis : tulisan ini diambil dari kisah nyata bukan fiksi . ditulis juga di blog pribadi penulis odasekarayu.tumblr.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H