Melalui gadget, terbuka berjuta informasi dengan beragam bentuknya, yang dapat berpengaruh secara positif juga negatif. Kecenderungan pula, gadget sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan kehidupan kita, dan banyak sudah yang mengidap phubbing.
Pada situasi demikian, ketika ada penilaian bahwa anak-anak dan generasi muda "zaman now" mengalami krisis nasionalisme atau krisis wawasan kebangsaan, siapakah yang patut dipersalahkan? Tentu tidak adil jika hanya menyalahkan anak-anak atau kaum muda.Â
Proses "pendidikan" (bukan hanya di sekolah) yang berjalan erat dengan kehidupan sehari-hari, tampaknya sudah memudar atau bahkan hilang.Â
Di sisi lain, "pendidikan" dengan bahan pembelajaran yang sangat beragam dan terbuka untuk diakses, membawa nilai-nilai baru, yang terbuka kemungkinan dapat bertentangan dengan nilai-nilai nasionalisme atau kebangsaan.
Sinyal bahaya pula, jika muncul gerakan masif (apalagi didomplengi kepentingan politik), yang tersebar melalui berbagai media dan diorganisir di setiap "ruang temu" tentang kebenaran tunggal atas kelompoknya, yang mana pihak lain yang berbeda pandangan dinilai sebagai pihak yang salah.Â
Maka pada sisi mendasar sebagai manusia yang berhubungan dengan manusia lain hanya diukur dari kesamaan, sehingga mendorong orang untuk menghindar atau menghujat manusia yang berbeda, maka bukan hanya soal nasionalisme atau kebangsaan saja yang terancam, melainkan sudah menjadi bencana kemanusiaan.
Ini tentu menjadi PR bagi kita semua untuk mengatasinya. Terlebih Indonesia akan mendapatkan anugerah bonus demografi selama rentang waktu 2020-2035. Sedang, masa depan Indonesia akan ditentukan oleh anak-anak dan kaum muda masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H