Variasinya, yang tampaknya disadari sebagai bumbu atau daya penarik  atau bisa dikatakan pula sebagai penyegar adalah keberadaan Kizano atau Kids Zaman Now, yang dengan gaya dan caranya sendiri berdialog tentang Sengkuni, yang kesan saya terlalu "cerdas".  Dan kelompok bertopeng yang menjadi semacam suara nurani manusia dengan koor-koor-nya. Kedua kelompok ini juga yang berperan sebagai "briedging"  dan berperan mengubah property untuk adegan selanjutnya.
Variasi lainnya, adalah keberadaan narator (Diperankan pula oleh Joko Kamto) Â dan asistennya, Khatib (Eko Winardi), yang dalam kisah ini dibingungkan oleh cerita-cerita yang muncul di luar alur yang direncanakan dalam naskah yang mereka miliki.
Kisah sederhana, bukan berarti menjadikan naskah lakon menjadi sederhana. Ke-mbeling-an Cak Nun tentulah tak diragukan lagi, sehingga kemasan cerita menjadi sangat bermakna dengan kritik-kritik sosial yang kental yang dapat mengusik perasaan bukan hanya pemegang kekuasaan, para politisi, tapi juga kita pada umumnya sebagai manusia.Â
Kekuatan lain, juga memunculkan pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan pemikiran atau logika umum, atau bahkan bisa bertolak belakang, Â namun bisa diterima akal sehat lantaran argumentasinya kuat. Ini tercermin dalam dialog-dialog para tokoh-tokohnya sehingga mampu membuat kita tersenyum atau bahkan tertawa kecut untuk mentertawakan diri kita sendiri, atau menghanyutkan kita untuk berpikir ulang secara mendalam. Tidak hanya dalam naskah, pada pengajian-pengajiannya kita tentu kerap mendengar dan menyaksikan hal semacam itu. Â Sasaran bisa menembak siapa saja, termasuk jika terjadi dua kelompok kepentingan yang bersaing, kedua-duanya bisa menjadi sasaran tembak. Bukan kepentingan sesaat, melainkan didasarkan pada kemanusiaan. Membangun jiwa merdeka dan pikiran kritis, bukan menjadi "alat" yang memuja atau menghamba membabi-buta.
Pergulatan Cak Nun pada persoalan-persoalan sosial-politik, bukanlah muncul secara tiba-tiba. Dalam karya, setidaknya telah terlihat sejak Kumpulan Puisinya "Nyanyian Gelandangan" yang diterbitkan oleh "Jatayu" dan Taman Budaya Surakarta di tahun 1982. Tampaknya ini dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam Lokakarya Teater yang diselenggarakan oleh PETA tahun 1980 dan lingkaran pergaulannya di Teater Dinasti yang kerap mendiskusikan masalah-masalah sosial-politik, yang kemudian diangkat menjadi tema lakon yang dipentaskan? Seni sebagai media penyadaran dan pembebasan.
Pementasan
Sebagaimana tulisan saya sebelumnya (lihat di SINI), bahwa saya berkesempatan menonton latihan di waktu-waktu akhir menjelang pementasan dan juga menonton Gladi Resiknya, telah banyak terjadi perubahan dalam komposisi atau blocking-nya. Demikian pula saat pementasan di hari pertama, semalam (12/1) terlihat ada perubahan  di beberapa adegan.
Secara keseluruhan, 34 pemain yang terlibat dalam pementasan ini menunjukkan kesungguhannya. Koor dan gerak bersama, tampak lebih kompak.
Adegan dibuka dengan nyanyian tentang Sengkuni, Seseorang (Khatib, Eko Winardi) membawa buku besar, meletakkan di book stand yang terletak di sisi kiri belakang panggung dengan level yang lebih tinggi. Di Sisi kanan, terlihat tumpukan kursi-kursi dan meja kayu sederhana (yang nantinya digunakan sebagai property, dengan setting  yang berbeda-beda sesuai dengan adegan yang dimainkan.Â
Dari wing kiri (berdasar pandangan penonton) keluar empat orang, tiga diantaranya tampak terlihat mengenaskan. Inilah perkenalan sosok Sengkuni (dimainkan oleh Joko Kamto) yang menghadapi dilema sebagai orang yang terpilih diantara 100 saudaranya yang dipenjara, untuk tetap hidup dan yang lainnya merelakan diri makanan mereka (satu butir nasi setiap hari) dimakan oleh Sengkuni guna mempertahankan kelangsungan hidupnya, yang tentu saja tidak mencukupi, sehingga semua saudaranya juga merelakan dirinya menjadi santapan bagi Sengkuni, termasuk kedua orangtuanya, yang darahnya juga diminum oleh Sengkuni. Ini menjadi pengantar bagi penonton guna memahami latar belakang segala karakter dan tindakan Sengkuni yang dikenal selama ini.