Azwar AN sesungguhnya adalah salah satu pemain andalan dari Bengkel Teater. Ia pula yang tak jemu setiap hari menteror Rendra setelah kepulangannya dari Amerika untuk segera membentuk kelompok teater. Upaya yang tidak sia-sia, hasilnya adalah terbentuknya Bengkel Teater. Ia pula yang kerap disebut sebagai "tangan kanan" WS Rendra. Lantas mengapa ia mengundurkan diri dan membentuk Teater Alam? Ada banyak versi yang berkembang seperti ketidaksetujuannya Rendra menikah lagi, soal keuangan, soal kelakuan WS Rendra yang tidak bisa ditolerir olehnya (dan kawan-kawannya).
Azwar tidak menolak anggapan bahwa pertentangannya dengan WS Rendra disebabkan hal-hal yang prinsip. "Asal jangan dihubungkan dengan penguasa atau ABRI," kata Azwar. (Kompas, 1 Mei 1972)
"Kami mau berkumpul lagi kalau Rendra mau mengembalikan uang...." Azwar sambil menyebut nama enam orang eks Bengkel Teater  yang sependapat dengannya; Putu Wijaya, Chaerul Umam, Amak Baldjun, Moortri Poernomo, dan Etty Asa. "Asal namanya bukan Bengkel lagi," tambah Azwar. (Gelora Mahasiswa, Desember 1975). Â
Keputusan telah dijatuhkan. Azwar AN, Meritz Hindra, Yoyok Aryo, Moortri Poernomo yang merupakan pendiri dari Teater Alam, mulai merekrut dan melakukan latihan rutin setiap hari di markas mereka yang fenomenal, Sawojajar 25.
Penampilan pertama dari Teater Alam adalah berpartisipasi dalam acara pembacaan puisi-puisi protes yang diselenggarakan oleh Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada yang masih bertempat di Pagelaran Kraton Yogyakarta. Â 9 Pebruari 1972. Selain mereka, berpartisipasi pula Persada Studi Klub Pimpinan Umbu Landu Paranggi, Bengkel Teater pimpinan WS Rendra, para seniman dan aktivis mahasiswa Yogyakarta seperti Sapardi Djoko Damono, Anhar Gonggong, dan Sutradara Ginting. Acara yang dihadiri sekitar 600 orang ini, merupakan reaksi atas ditahannya Arief Budiman, HJC Princen, (lihat, Kami, 14/2 1972).Â
Penahanan pada 17 Januari 1972, oleh Wakil Pangkopkamtib, Letjend TNI Soemitro merupakan puncak penanganan atas aksi-aksi menentang pembangunan Miniatur Indonesia Indah (MII) yang tersebar di berbagai kota seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Â Pembacaan puisi protes juga dilangsungkan di berbagai kampus. "Dari sawojajar ke pagelaran, kami menggunakan pakaian putih-putih seperti pendeta. Di pinggiran jalan banyak orang menonton kami," kisah salah seorang anggota Teater Alam mengenang masa lalu.
Kegiatan pertama yang diselenggarakan oleh Teater Alam, justru adalah pertunjukan "Underground music" di Kridosono pada awal mei 1972 yang menampilkan enam (6) grup band dan mendapat sponsor dari suatu penerbitan. Pada acara tersebut diproklamasikan tentang "Gelanggang Terbuka untuk Remaja". Kegiatan ini sempat mendapat sorotan dari masyarakat Yogya yang mengganggap ada yang menyalahgunakan untuk hal-hal yang tidak senonoh.
"Di Atas Langit Ada Langit" merupakan kegiatan selanjutnya dan dapat dikatakan sebagai repertoire pertama dari Teater Alam. Naskah ini merupakan naskah pertama dan terakhir yang dibuat oleh Azwar AN. "Ternyata tidak gampang membuat naskah," demikian dikatakan Azwar AN pada satu kesempatan. Pementasan yang disutradarai oleh Azwar AN dan melibatkan 14 pemain ini berkisah tentang protes mayat-mayat dari liang kubur. Â Â
B. Sularto, yang mencermati perkembangan teater di Yogya selama akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an , menyatakan kendati tersendat tapi ada kecenderungan frekuensinya menanjak. Ia mengakui bahwa Rendra dengan Bengkel Teater sangat berperan merangsang pertumbuhan teater Yogyakarta dengan pementasan-pementasannya yang kontroversial. Â
Tentang kehadiran Teater Alam, ia mencatat: "Kini, muncul pula Kelompok Azwar (Ex-Siswa Rendra yang telah memutuskan berdirinya dengan mendirikan Teater Alam) yang meski masih sangat muda dalam umur telah beberapa kali tampil dengan pementasan-pementasan fragmentaris. Dan dari pementasannya "Di atas langit ada langit" Pada tanggal 4 Juni yang lalu, kita melihat, meski mereka belum menemukan identitas dan gayanya yang khas, namun terasa, mereka mengarah pada pola-pola modern yang kontroversial. Mengingat kemudaannya dalam umur tentu saja adalah prematur apabila dibuat evaluasi dalam kualitasnya dan kurang proporsional bila kita lalu membuat komparasi dengan kemampuan Bengkel Teater yang sudah matang. (Berita Yudha, 17/6 1972)