Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Selintas Kehidupan Teater Modern di Jogja Tahun 1950-an

25 Desember 2018   17:30 Diperbarui: 26 Maret 2019   09:12 5444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Latihan Raksi Seni di Gedung CHTH (Sumber: Minggu Pagi, Nomor 20 Tahun ke III,12 Agustus 1951)

Kemudian "keluarga Raden Sastro" yang disutradarai oleh Subagio Sastrowardojo. Di awal tahun 1958, kembali mereka tampil dengan lakon "Selubung Lampu" saduran Subagio Sastrowardojo dari karya Tennese Williams "A Streetcar Named Desire".

Salah satu adegan | Dok. Odi
Salah satu adegan | Dok. Odi
Kemunculan pertama Teater Indonesia dengan lakon "Penggali Intan" karya Kirdjomuljo pada 12 & 13 Agustus 1957 di gedung CHTH dinilai sukses. Walaupun merupakan kelompok baru, tapi anggota-anggotanya yang terhimpun adalah orang-orang yang telah lama bergelut di dalam dunia teater. 

Kesuksesan ini dilanjutkan pada pementasannya yang kedua "Saat Sungai Barito Kering" karya Kirdjomuljo yang oleh Motinggo Boesje dikatakan berhasil secara entertainment-nya, namun dalam kualitas masih setingkat di bawah pertunjukan pertama.

Kedua pertunjukan itu disutradarai oleh sosok yang sama yaitu Nasjah Djamin dan Sumantri. WS Rendra memberikan komentar kepada Motinggo Boesje bahwa sebagai cerita, "Saat Sungai Barito Kering" lebih kuat dibandingkan "Penggali Intan". 

Pada Juli 1959, Teater Indonesia mempertunjukkan "Malam Jahanam" karya Motinggo Boesje yang merupakan pemenang pertama sayembara naskah drama se-Indonesia. Dekorasi ditangani oleh Soenarto PR. Teater Indonesia masih aktif pada awal 1960-an.

Study Club Teater Jogja, yang tampaknya beranggotakan mahasiswa Fakultas Sastra UGM, tampil pertama kalinya dengan lakon "Hartati" saduran Subagio Sastrowardojo dari karya Hendrik Ibsen yang berjudul "Hedda Gabler". 

Usai pementasan, dilakukan ramah tamah dengan meminta pandangan-pandangan dari berbagai seniman atas pementasan tersebut. Ini tampaknya merupakan peristiwa yang kelak menjadi tradisi baru dalam pementasan di Yogyakarta. Selanjutnya pada awal tahun 1960-an, kelompok ini terlihat menonjol di Yogyakarta. 

Pada tahun 1950-an akhir, juga muncul pementasan-pementasan yang dilakukan oleh ASDRAFI.

Pada tahun 1958, untuk pertama kalinya diselenggarakan carnaval seniman di Yogya yang diikuti oleh Pelukis Rakyat, SIM, PIM, Sekolah Guru Pendidikan Gambar, AKademi Seni Drama dan Film Krido Mardi dan Teater Indonesia. Carnaval dalam menyambut hari kemerdekaan RI.

Pendidikan Teater

Di kota ini, pertama kali didirikan sekolah drama di Indonesia, yakni pada tahun 1948, dengan didirikannya Cine Drama Institut (CDI) oleh Kementerian Penerangan RI, namun hanya bertahan dua bulan karena adanya agresi Belanda dan Yogyakarta diduduki. Pada tahun 1950,Front Seniman Yogyakarta mendirikan Sekolah Seni Drama dan Film, dengan Sri Murtono sebagai kepala sekolahnya. 

Pertunjukan mereka yang pertama adalah "Gerendang Baratayudha" pada Maret 1952 dengan pemain para pelajar di sekolah tersebut (lihat Aneka,. Upaya ini kemudian mendapat dukungan dari institut Kebudayaan indonesia yang dipimpin oleh Prof. Ir. S. Purbodiningrat yang kemudian secara resmi dibentuk Sekolah Seni Film/Seni Drama setingkat SMA pada tanggal 11 November 1952.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun