Pengantar
Yogyakarta, kota dengan berbagai julukan, salah satunya adalah "Kota budaya", merupakan kota yang dapat dikatakan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di Indonesia.Â
Pada bidang sandiwara atau teater, geliatnya di Yogyakarta sudah terlihat sejak tahun 1940-an. Sebagai gambaran adalah "Himpunan Sandiwara Penggemar "Raksi Seni" yang berdiri pada Juli 1948, yang aktif melakukan pementasan-pementasan.
Dari pergulatan di Yogya inilah lahir tokoh-tokoh teater (dan kesenian lainnya) yang menjadi penggerak dan diperhitungkan di wilayahnya masing-masing saat mereka kembali atau berpindah dari Yogya dan atau dikenal serta memiliki pengaruh di tingkat nasional dan internasional.Â
Sekadar menyebut nama, Adjiem Arijadi (Kalimantan) dan Ganti Winarno (Lampung) keduanya alumni ASDRAFI berperan dalam menghidupkan dan menggerakkan teater di daerah asalnya. Umar Kayam, Motinggo Boesje, Nasjah Djamin, Kirdjomuljo, WS Rendra, Arifin C Noer, Danarto, Noorca M Massardi, adalah sebagian dari tokoh teater/budayawan Indonesia yang berasal atau pernah bergulat sebelumnya di Yogyakarta.
Masa Perkembangan Teater Modern
Jakob Sumardjo membuat periodisasi perkembangan teater Indonesia ke dalam lima periode, yakni; 1) Masa Perintisan Teater Modern (1885-1925), 2) Masa Kebangkitan Teater Modern (1925-1941), 3) Masa Perkembangan Teater Modern (1942-1970), 4) Masa Mutakhir (1970-1980-an) dan, 5) Teater kontemporer (1980-an hingga sekarang).
Salah satu ciri dari teater modern adalah penggunaan naskah. Awal teater modern dikaitkan dengan sastra lakon Indonesia, yang paling awal tercatat dalam kaitan periodisasi ini umumnya dikenal adalah Bebasari (1926) karya Rustam Effendi.Â
Pada masa kependudukan Jepang, semua unsur kesenian dan kebudayaan dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan Jepang. Pada Maret 1943, Jepang mendirikan "Keimin Bunka Shidoso" atau Pusat Kebudayaan yang mulai bekerja sejak April 1943.
Pembentukan Pusat Kebudayaan berfungsi untuk mengontrol lakon-lakon yang dimainkan. Setiap pertunjukan harus memiliki naskah tertulis yang akan diperiksa dan disensor, dan pertunjukan harus sesuai dengan naskah yang telah disetujui. Pada periode ini, lahirlah naskah-naskah lakon yang cukup banyak.
Sebatas pengetahuan yang dimiliki, belum tersedia informasi mengenai keberadaan kelompok-kelompok teater (yang pada masa itu masih menggunakan istilah sandiwara) di Yogyakarta. Catatan yang dimiliki, kelompok yang aktif melakukan pertunjukan adalah Himpunan Sandiwara Penggemar "Raksi Seni" (berdiri Juli 1948), Studio artis, Front Seniman, Gabungan Artis Pelajar, PPPI, dan Bunga Tjita.