Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Drama

[FDR] Pada Sepenggal Jalan (1)

27 Juli 2013   21:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:57 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADA SEPENGGAL JALAN

Odi Shalahuddin, Nomor 42

(Gelap. Suara siter mengiris hati. Tembang Jawa lirih terdengar. Denting bel sepeda. Ringkik kuda dan derap delman. Klakson motor. Klakson mobil. Klakson bus dan truk. Suara hingar-bingar dari beragam kendaraan. Kilatan cahaya memainkan ruang-ruang. Sorot lampu, dari temaram hingga terang, ke tengah panggung di level tiga. Seorang tua di kursi goyang, dengan tongkat di sisinya)

Ya, telah engkau saksikan dan engkau nikmati sepanjang jalan ini, wahai para anak muda. Engkau yang terpesona dan berbangga dapat menyetubuhi sesekali, atau berulang kali, atau sepanjang hari.

Jalan pintas sepanjang dua kilometer, memang tarlihat sempurna, laksana gadis berambut panjang penuh pesona dengan gaunnya yang bercahaya, namun wajahnya tampak besahaja. Perpaduan peradaban modern dengan warisan masa lalu. Terlihat tersipu-sipu tapi bukan malu.

Lihatlah, semua kebutuhan serba ada di sepanjang jalan ini. Sekolah-sekolah dari PAUD hingga Perguruan Tinggi, tak hanya satu. Irama kerja mesin foto copy dan percetakan tiada henti. Beragam galerry, aneka macam kuliner, dari tradisi hingga mancanegara. Guest house dan hotel-hotel kecil berjajar selang-seling. Warung-warung kelontong. Supermarket 24 jam. Café-café. Ah, apa yang engkau cari, pastilah ada di sepanjang jalan ini. Juga irama kehidupan malam yang remang-remang.

Jalan ini, memang jalan kebanggaan kota kecil yang tak larut dalam kegelapan malam. Tak pernah berhenti dengan beragam irama berganti. Oh, ya, banyak anak kost juga di sini. Dari sabang-Merauke, dan luar negeri juga ada. Asia, Afrika, Amerika, Eropa, dan apalagi yang hendak kau tanya. Pastilah ada. Tidak sekedar Indonesia mini. Tapi dunia.

Sepanjang jalan ini memang padat. Jalur-jalur di dalamnya juga demikian. Menjadi perkampungan yang membuatmu tidak merasa asing. Menarik dirimu untuk menjadikan sebagai kampung kedua.

(Orangtua itu berdiri. Melangkah pelan, tertatih terbantu oleh tongkatnya. Pandangannya perlahan mengawasi jalan. Ke kanan – ke kiri. Suara musik berdentam. Suara orang-orang riang. Suara klakson kendaraan).

Ya, ramai sekali jalan ini. Tapi aku tetap merasakan kesunyian. Beragam suara terdengar, namun tiada yang menyelusup ke dalam hati dengan keagungan menyapa dan menentramkan diri. Aku merasa sendiri. Benar-benar sendiri. Ah.

(Suara angin ribut. Suara petir. Bersahutan. Lalu menghilang tiba-tiba)

Ah, lihatlah di luar. Cuaca yang cerah, tapi angin dan petir bermain-main. Sama sekali tidak menunjukkan air akan terjatuh dari langit. Memang sudah berubah semesta ini. Sulit sekali mencari pertanda. Musim memainkan irama baru yang tiada terduga. Pada musim kemarau, hujan tiada henti, dan banjir di mana-mana. Barangkali, pada masa lalu, akan tersebar berbagai sesaji.

Ya, perubahan. Perubahan demi perubahan terus terjadi. Kita sering luput mencermati. Terasa tiba-tiba. Seperti terbangun dari mimpi. Berada pada dunia baru, yang kita nikmati, namun gagap mensikapi.

Perubahan? Ya, telah berubah. Telah berubah. Hari ini, tidak datang tiba-tiba. Ada tadi, ada kemarin, ada bulan lalu, ada tahun-tahun lalu. Ada sejarah.

(Wajah orangtua nanar menatap ke depan. Pandangan kosong)

Sejarah. Ya, ya, ya, sejarah. Se...ja...rah... Kampung kota ini memiliki sejarah. Sejarah yang tidak tercatat. Sejarah yang tidak pernah diajarkan dari masa ke masa. Sejarah yang dapat terlupakan. Sebab, tiada yang merasa berkepentingan terhadap sejarah kampung kota ini. Anak-anak-ku pun tidak perduli. Mereka telah berada pada lingkaran sejarah yang mendunia. Tidak sekedar pikiran, fisik-pun beredar dari benua ke benua lainnya. Sejarah bukan lagi milik anak-anak masa kini.

Jalan ini. Sepanjang jalan dua kilometer. Dulu, ya dulu sekali, hanya jalan setapak. Kaki-kaki yang menjejak, sesekali sepeda-sepeda yang belum tentu semua orang punya. Aku ingat, pada masa kecil dulu, begitu bebas berlari-lari. Menyusuri sawah dan kebun, sesekali iseng mencuri tanaman para petani.

Ada dua kampung di sepanjang jalan ini, dengan jumlah rumah tak lebih dari seratus. Lebih banyak halaman, kebun dan sawah.

Oh, ya, ada sungai yang membatasi dua kampung. Sungai dengan aliran yang jernih. Kami sering bermain air dan berenang-renang. Para warga mencuci dan mandi juga di sini. Ada beberapa titik mata air. Menyegarkan.

Jalan sepetak mulai dilebarkan, saat gerobak-gerobak sapi mulai melintasi. Membawa hasil pertanian dan produk industri rumah tangga.

Ketika pembangunan kota mulai dijalankan, daerah ini tertinggal. Masih sempurna dengan wajahnya, padahal di sekeliling mulai menata wajah. Jadilah kampung di tengah kota, dengan jalan tanah yang membelah.

Jalan mulai ramai, kendaraan bermotor mulai melintasi, mengambil jalan pintas, menyingkat waktu perjalanan yang lumayan. Kami harus mulai berhati-hati. Anak-anak harus diawasi. Agar tak terlanggar oleh berbagai kendaraan.

***

Dua puluh lima tahun lalu. Tahun 1998. Ya, saat itu dapat dikatakan sebagai titik awal perubahan kampung kota ini. Orang-orang berdatangan, mengumpulkan para warga, dan membentangkan rencana. Tidak ada yang bersorak. Malah menganggap sebagai bencana. Lantaran kami, para warga harus pindah entah ke mana.

”Ini dapat menjadi wilayah kebanggaan kota. Kalian adalah pejuang-pejuang pembangunan!” seorang yang duduk diapit oleh Pak Camat dan Pak Lurah berapi-api berpidato. Kami hanya diam.

Orang-orang berdatangan, dari satu rumah ke rumah lainnya. Berganti-ganti, entah darimana, tapi serupa untuk apa-nya, menawarkan pembelian lahan-lahan di sini.

”Ini megaproyek yang tidak dapat diabaikan. Bersyukurlah tempat kita terpilih!” Pak Camat dan Pak Lurah dalam berbagai pertemuan.

Sekali lagi kami hanya diam. Dengan diam-diam pula kami mulai sering bertemu, dan sepakat untuk mempertahankan tanah yang dimiliki.

”Kalian dapat dituduh sebagai penghambat pembangunan! Kalian subversif! Pasti kalian telah disusupi kader-kader komunis yang belum mati. Hati-hati!” Pak Camat dan Pak Lurah berganti-ganti.

Satu persatu lahan berganti kepemilikan. Segelintir orang tetap bertahan. Sejak itu, teror mulai bergentayangan. Alat-alat berat mulai masuk. Pembangunan megaproyek mulai dijalankan, padahal semua belum menyatakan persetujuan.

”Maaf, saya tidak bisa bertahan,” Komar, yang selama ini berapi-api menggalang persatuan dan menjaga kami untuk bertahan, tiba-tiba menyatakan dengan wajah yang sama sekali tidak enak dipandang.

(Orangtua itu terbatuk-batuk. Tubuhnya agak sempoyongan. Memegang dadanya, tapi berhasil menenangkan diri...... Bersambung)



Catatan:

Kelanjutannya lihat di SINI

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Fiksi Drama Ramadhan(Lihat di SINI).

Silahkan juga bergabung di FB:

Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun