Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Surat-surat Cinta untuk Pacar

25 Juni 2012   05:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34 7771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340601565842159118

Pastilah engkau penah membuat surat cinta, kepada orang yang engkau cintai. Bukankah begitu? Bagaimana ketika bertahun kemudian engkau membaca ulang surat-surat yang pernah engkau kirimkan kepada kekasihmu – yang kini mungkin telah menjadi istrimu?

Beberapa waktu lalu, ketika menata barang-barang lantaran ingin pindah rumah. Istriku menyerahkan satu tas plastik berisi surat-surat antara kami berdua yang dibuat pada periode 1989-1990-an awal.

Pada saat berduaan, saat malam tiba, istriku membacakan beberapa diantaranya. Kami mengernyitkan kening dan juga tersenyum tersipu-sipu dibuatnya. Lalu saling memberikan komentar.

Surat-suratku kepadanya jauh sekali dari romantis. Tidak ada rayuan-rayuan. Tidak ada kata mendayu-dayu. Isinya bahkan cenderung berbicara tentang hal di luar hubungan kami dengan kertas terketik berhalaman-halaman. Ah, kubayangkan bagaimana jengkel pacarku (kini adalah istriku) pada saat itu ketika membacanya.

Atas seijinnya, lima surat kepadanya aku posting di blog pribadi (lihat di SINI). Surat-surat lainnya, belum sempat terketik ulang.

Pagi ini, membaca kembali, lalu kuketik satu surat, tanpa ada proses penyuntingan, ditulis apa adanya. Ini merupakan surat kedua untuknya, kukabarkan kepadamu, yang isinya berikut ini:

___________________

Yogyakarta, 15 Januari 1990

Sobatku: Sulandari

Hari ini, aku terima surat dari kamu. Kebetulan lagi tidak ada kegiatan jadi bisa langsung membalas. Sebab mulai besok sampai akhir Januari mungkin penuh dengan acara. Aku tidak tahu, kenapara jarak Bantul-Sleman bisa memakan waktu 10 hari (suratmu tertanggal 5 Januari 1990).

Aku cukup senang dengan tawaran untuk berdialog. Terus-terang aku juga membutuhkan teman dialog.

Pendapatmu tentang kebebasan yang sepenuhnya, tidak mungkin akan didapatkan orang, karena adanya keterikatan terhadap Tuhan. Aku setuju. Tapi keterikatan bukan saja terhadap Tuhan (Walaupun hal ini adalah yang paling mendasar), kita tetap terikat dengan manusia lain, dengan seisi alam. Dari Tuhan kita dapatkan ajaran-ajaran yang termuat dalam kitab suci, hubungan antar manusia kita terikat oleh norma hukum dan norma-norma lainnya, terhadap alam kita banyak tergantung sehingga berusaha menjaga keseimbangan agar dapat tercapai manfaat yang sebesar-besarnya. Tapi kita adalah manusia! Yang berdiri dengan keangkuhan dan kebesaran! Sifat dasar manusia, positif dan negatif. Dan yang negatif selalu mendorong lebih kuat. Sehingga kita dapatkan kehendak manusia yang berlebihan. Sehingga lupa terhadap Tuhan sebagai pencipta, sehingga ingin lebih besar dari manusia lainnya dengan kekuasaan dan kekuatan yang selalu dikejar, sehingga mengeruk alam dengan rakusnya tanpa memperdulikan keseimbangan lagi.

Kebebasan yang bagaimana? Hal ini relatif. Seperti baik dan buruk, seperti cantik dan jelek. Jadi darimana kita memandangnya. Dan setiap orang pasti mempunyai perbedaan persepsi walaupun mungkin ada satu kesamaan yang dimiliki. Kebebasan menurut saya adalah kesadaran. Kesadaran dimana kita menempatkan diri dan berprilaku.

Saya dapat mengerti beratnya orang yang dihadapi dua pilihan. Sayapun seringkali mengalami. Tapi bila berhadapan dengan orangtua, saya tidak pernah mengalami. Hubungan saya dengan ibu seperti hubungan antara teman. Mengenai cita-cita sayapun bingung untuk menjadi apa kelak. Karena selama ini saya telah menghancurkan diri untuk tidak mempunyai cita-cita (cita-cita yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan materi. Bukankah begitu anggapan orang selama ini?) Cita-cita saya sesungguhnya bagaimana yang saya miliki. Abstrak? Ya, begitulah. Walaupun saya tidak menolak kenyataan bahwa terkadang saya juga dihantui dengan pikiran ini, menjadi itu, rumah besar, dan memiliki benda-benda mewah. Adakah kebahagiaan? Entah. Sikap seperti yang saya miliki tidak menjadi masalah dengan orangtua saya. Mungkin merupakan hal yang kebetulan bila di dalam rumah kami semua, anak-anaknya selalu diberi kesempatan untuk berpendapat. Pun adik saya yang masih duduk di kelas II SD. Mengenai pilihan yang bertentangan dengan orangtua dan keinginan kita sendiri, bila itu yang kamu hadapi, saya tak akan memberikan komentar. Kamu pasti mampu menyelesaikan. Tentu saja dengan pemikiran yang jernih. Hanya perlu diingat, niat baik tidak selalu menghasilkan yang baik bagi orang lain, perbuatan baik tidak selalu dilihat baik oleh orang lain. .

Seperti saya yang juga masih sulit untuk memilih, apakah akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak. Di satu pihak sistem pendidikan kita belum berarti apa-apa bagi hidup, di pihak lain, masyarakat akan memandang sebelah mata bagi seseorang yang hanya masih lulusan SMA. Sampai sekarang, saya masih belum memutuskan, walaupun saya sadari bahwa saya telah mengecewakan ibu saya pada tahun kemarin hanya dengan mendaftarkan di satu PT saja.

Bagi saya, orang yang menyadari apa yang diperbuat dan berani mem-pertanggung-jawabkannya itulah yang disebut kedewasaan. Kedewasaan tidak perlu dicari, sebab dia akan datang sendiri selaras dengan  pikiran yang semakin berkembang. Kita tidak bisa menilai diri kita sendiri apakah kita sudah dewasa. Orang lainlah yang bisa menilai. Saya dapat memastikan, kamu pasti lebih dewasa dibanding teman-teman kamu.

Orang lahir untuk mati. Kehidupan sendiri adalah sebuah jembata. Melewati sebuah jembatan ada yang memakai kendaraan bermotor, sepeda atua jalan kaki. Ada yang jalan tergesa memandang lurus ke depan, ada yang menikmati pemandangan dan berhenti sejenak. Ada yang kosong ada yang berpikir. Menurut kamu sendiri, apa yang kamu cari dalam kehidupan ini?

Ah, saya rasa tulisan ini sudah membosankan. Setelah itu bisa kamu buat menjadi robekan-robekan kecil, atau dibakar sehingga menjadi abu. Lenyap. Hilang. Dan ocehan yang tidak bermakna dari seorang yang hanya bisa bicara tidak membebani pikiran. Bila itu yang kamu ingini.

Maaf, bila tulisan ini saya ketik bukan karena saya tidak menghargai kamu, tapi karena sudah kebiasaan disamping tulisan saya yang tidak bisa dibaca. Wajar kalau kamu marah seperti saya yang kecewa bila mendapat surat tanpa tandatangan.

Oh, ya, mungkin bulan depan saya sudah pindah rumah ke Bantul, mengenai tempatnya belum pasti karena masih mencari yang cocok.

Satu permintaan, bila kamu belum bosan nulis surat, hilangkan kata kak, dan segala macam yang tidak perlu agar tidak ada jarah sehingga bisa melepaskan semua kemarahat, pendapat dan cerita.

Salam buat kamu dan teman-teman semua dari saya dan teman-teman di sana.

Odi Esha.

___________________

Begitulah, salah satu suratku kepada (calon) pacar pada masa itu, kemudian menjadi pacar, kemudian menjadi istri. Sama sekali tidak romantis bukan? He.h.eh.e.h.eh.e

Nah, sekarang bagaimana dengan pengalamanmu?

Yogyakarta, 25 Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun