Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yogyakarta Harus Bebas dari Kekerasan Atas Nama Agama Apapun

24 Juni 2012   12:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:35 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_190327" align="aligncenter" width="590" caption="Pembacaan Manifesto Yogyakarta untuk Kebhinekaan di depan Gedung Agung Yogyakarta, 21/6/2012"][/caption]

Apakah kita akan membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan suatu kelompok mengganggu kedamaian di Yogyakarta?

Pertanyaan semacam itulah yang menggelayut di hati dan pada akhirnya mengemuka menjadi pertanyaan bersama bagi orang-orang yang tinggal di Yogya dari berbagai level dan berbagai kalangan.

1340542623213678980
1340542623213678980
Serangkaian diskusi maupun obrolan-obrolan informal, kerap terjadi atas situasi keberadaan suatu kelompok yang kerap menggunakan kekerasan bersama massa terhadap kelompok lain yang dinilai berbeda berdasarkan keyakinan mereka. Banyak yang merasa geram. Tapi hati yang tenang, membuat daya tahan menjadi tinggi tidak terprovokasi untuk mensikapi dengan cara yang serupa. Bukankah suatu kebodohan membalas kekerasan dengan cara kekerasan pula?

Kesadaran kolektif dengan semangat kebersamaan yang memiliki nilai-nilai toleransi, adalah sikap yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Yogyakarta.

”Selama ratusan tahun, Yogyakarta telah menjadi tempat bertemunya orang dari berbagai latar belakang yang berbeda.Dengan sikap saling menghargai di dalam masyarakat, keragaman ini menjadikan Yogyakarta sebagai Indonesia kecil” tertulis demikian dalam selebaran dari Forum Yogya untuk Keberagaman (YuK)

Berangkat dari sanalah, berbagai aksi damai yang melibatkan puluhan bahkan ratusan organisasi yang melibatkan ratusan bahkan ribuan masyarakat, sering dilakukan untuk menyampaikan sikap.

13405422231422472773
13405422231422472773
Salah satunya adalah Aksi Budaya: Yogyakarta untuk Indonesia Bhineka yang berlangsung sore tadi (24/6) yang diselenggarakan oleh Forum Yogyakarta untuk Keberagaman (YuK) yang merupakan himpunan ratusan elemen masyarakat sipil yang menyuarakan demokrasi. Forum ini merupakan wadah bagi sebuah usaha bersama mewujudkan cita-cita tentang kehidupan damai yang berprinsip pada demokrasi, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Sesuai rencana, acara berlangsung di depan Istana Gedung Agung. Ribuan orang memenuhi berbagai ruang dan menggemakan manifesto Yogyakarta untuk Kebhinekaan yang dibacakan oleh Habibah dan diikuti seluruh peserta aksi . (Isi lengkap Manifesto telah saya posting pada tulisan sebelumnya di SINI)

Pada manifesto ada tiga pernyataan yang disuarakan, yakni:

  1. Menolak intimidasi dan aksi kekerasan atas alasan apapun, sebab intimidasi dan aksi kekerasan atas nama perbedaan agama, suku, kelompok, gender, dan ideologi sesungguhnya tidak sesuai dengan prinsip kebinekaan.
  2. Mendukung aparat negara untuk menindak berdasarkan hukum, setiap individu ataupun kelompok yang melakukan intimidasi dan aksi kekerasan.
  3. Mengajak seluruh masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai kebinekaan, serta tidak membiarkan aksi kekerasan dan intimidasi yang melanggar hak-hak sipil warga.

Usai membaca, berbagai bunyi-bunyian seperti kentongan dan peluit bersahut-sahutan. Sri Sultan Hameng Kubuwono X, selaku raja dan juga Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, DR Pratikto selaku Rektor Universitas Gadjah Mada, dan Alissa Wahid anak dari Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur, turut memukul-mukul kentongan. Bunyi-bunyian dengan irama yang kita kenal sebagai tanda adanya bahaya agar orang-orang bisa terbangun dan bersikap waspada.

1340542285627190317
1340542285627190317

Setelahnya, manifesto tersebut diberikan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X. Inilah sikap warga Yogyakarta. Kami meminta Sri Sultan Hamengku Buwono X menerima manifesto ini dan menjaganya,” pernyataan yang dilontarkan Habibah selaku wakil Forum YUK saat menyerahkan manifesto tersebut.

“Ya, saya terima. Yogyakarta harus bebas dari kekerasan atas nama agama apapun,” demikian tanggapan dari Sri Sultan.

Selanjutnya manifesto diberikan kepada DR Pratikto. “Mewakili berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, agar tidak bisa diintimidasi,” Naomi Srikandi, Koordinator Aksi  yang membawakan acara  berseloroh.

Sambil tersenyum DR Pratikto memberikan pernyataannya “Universitas adalah tempat orang muda belajar, termasuk belajar berkomitmen menjaga kebhinekaan Indonesia,”

Pembacaan manifesto dan penyerahan ke Sri Sultan HB X dan Rektor UGM merupakan puncak dari aksi budaya ini. Selain itu, acara ini juga diisi oleh berbagai kelompok kesenian yang semakin menyemarakkan acara.

Damailah Yogyakarta, damailah Indonesia !

Yogyakarta, 24 Juni 2012

[caption id="attachment_190328" align="aligncenter" width="300" caption="Manifesto"]

1340542163559623384
1340542163559623384
[/caption] [caption id="attachment_190333" align="aligncenter" width="300" caption="Sri Sultan HB X, Alissa Wahid, Dr Pratikto turut membunyikan kentongan"]
13405427051944468962
13405427051944468962
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun