Menarik, membaca postingan Dr Andri SPKJ, yang terposting kemarin sore, dan menjadi Headline di Kompasiana ini. Postingan berjudul: Pendemo Anarkis Itu Alami Gangguan Jiwa? (baca di SINI), terus terang saja saya baca berulang kali. Setelah menutup kompasiana, lalu berselang waktu masuk kembali, postingan tersebut kembali saya klik dan baca ulang lagi.
Ada kegelisahan atas tulisan tersebut. Saya kira itulah faktor penyebabnya. Ini pula yang kemudian mendorong saya untuk memberikan tanggapan melalui tulisan ini.
Saya bukanlah orang yang tahu tentang psikologi, juga bukan pengamat masalah kejiwaan. Artinya, saya pastilah tidak mengetahui tentang ilmu atau pengetahuan tentang itu.
Namun, guna mengatasi kegelisahan, saya mencoba berpijak pada apa yang disampaikan oleh Dr Andri. Ia menyatakan bahwa apa yang diungkapkan tentunya hanya sebuah asumsi yang didasari dari teori saja. Ia menegaskan bahwa hal itu bukan berarti ”menuduh” para pendemo itu merupakan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Namun, lanjutnya lagi, jika dilihat dari kacamata gangguan kejiwaan, maka apa yang dilakukan oleh para pendemo dengan merusak barang publik sebenarnya adalah suatu kondisi yang nyata-nyata menunjukkan mereka mengalami gangguan kesehatan jiwa. Secara diagnosis personal mungkin sulit mendiagnosis orang per orang tetapi secara sosial apa yang dilakukan adalah menunjukkan kondisi masyarakat yang sakit.
Melalui postingannya, sebagai pembaca kita bisa mendapatkan ilmu yang berharga mengenai gejalah gangguan kejiwaaan. Hanya saja, pada konteks situasi sosial-politik yang tengah berlangsung, tulisan tersebut, bisa dinilai sebagai upaya stigmatisasi terhadap gerakan massa, yang bukanlah suatu kebetulan jika turut andil bersama stigmatisasi dari pihak-pihak lainnya di berbagai media yang bisa mempengaruhi pandangan publik.
Bila kita menggunakan dasar analisis yang digunakan oleh Dr Andri untuk menganalisis para wakil rakyat dan para penguasa negeri yang sering mencuri uang rakyat untuk kepentingan diri dan kelompoknya, saya sangat berkeyakinan, hasilnya akan serupa dengan analisis-nya terhadap para pendemo, yaitu memiliki gangguan kejiwaan.
Mengulang apa yang disampaikan oleh Dr Andri namun saya mengganti kata ”pendemo” dengan kata ”penguasa atau pemegang kekuasaan” dan ”perusakan barang milik publik” saya ganti dengan ”pencurian uang rakyat”, apakah bisa bermakna sama?
Inilah, kalimat berikut: Penguasa/pemegang kekuasaan yang sering melakukan pencurian uang rakyat memang seringkali bertindak impulsif atau memang sudah direncanakan sebelumnya. Jika perilaku ini berlangsung secara impulsif dalam artian tiba-tiba terpicu oleh situasi maka individu yang melakukannya sepertinya telah kesulitan untuk menahan impuls-impulsnya padahal dia tahu apa yang dia lakukan tidak benar. Kondisi ini sering dikaitkan oleh suatu kondisi kejiwaan di mana pasien tidak mampu menaham impuls-impulsnya (disinhibisi) dan tanpa kontrol mengeluarkan impuls-impuls itu sebagai suatu tindakan. Gangguan kejiwaan yang sering mengalami gejala seperti ini adalah pasien dengan Gangguan Kepribadian Ambang.
Mengingat telah saya ungkapkan bahwa saya tidak memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan psikologi dan juga bukan pengamat masalah kejiwaan, apakah hal-hal yang saya ungkapkan bisa dibenarkan?
Tentu saja saya membutuhkan petunjuk dan pelajaran dari para kompasianer yang ahli atau mengetahui tentang hal ini, termasuk dari Dr. Andri tentunya. Biar saya bisa mengetahui dan bersyukur bila bisa memahaminya. Semoga saja saya dan para kompasianer bisa terhindar dari masalah kejiwaan yang dibahas di atas
Salam hangat,
Yogyakarta, 31 Maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H